"Naif rasanya kalau bersuara untuk sesuatu pelanggaran dilakukan dengan cara pelanggaran yang jauh lebih plastis," katanya kepada wartawan di Kupang, Senin.
Hal ini dia katakan berkaitan dengan polemik dugaan pelanggaran prokes oleh sejumlah kepala daerah di Semau yang berujung pada aksi unjuk rasa sejumlah organisasi mahasiswa di Kupang.
Baca juga: Polda NTT didesak usut kasus dugaan pelanggaran prokes di Pulau Semau
Ia paham dengan kemarahan masyarakat terkait kerumunan para elite di Pualu Semau, kampung halaman Gubernur NTT, Victor Laiskodat, yang juga menginisiasi acara yang diikuti para kepala daerah se-NTT yang menimbulkan kerumunan di tengah wabah Korona ini.
Jahamat juga paham jika kalau banyak elemen masyarakat yang terpaksa meluapkan emosinya di media sosial dan bahkan ada yang ikut turun ke jalan.
Namun dosen ilmu sosiologi itu lebih mengharapkan agar sejumlah mahasiswa yang mengelar unjuk rasa itu menggunakan media lainnya misalnya kampanye di media sosial atau penggalangan petisi.
Baca juga: Pemprov NTT belum berkomentar soal kasus kerumunan di Semau
"Itu jauh dari efek pelanggaran sejauh disampaikan secara bermartabat. Sebab unjuk rasa di tengah pandemi ini juga dapat disebut sebagai pelanggaran," tambah dia.
Ia menyatakan, para pendemo harus memahami dengan serius bahwa saat ini masih berada dalam situasi pandemi. Ia tak mempermasalahkan jika kalau situasi normal, demonstrasi secara tatap muka langsung.
Baca juga: Ombudsman ingatkan Kerumunan di Semau jadi preseden ditiru masyarakat
"Jika ingin menggugat berbagai bentuk pelanggaran hukum, menurut saya tidak bisa dengan melanggar hukum. Gerakan sosial menjadi pincang kalau demikian," ujar dia.
Pastinya tambah dia ketika elemen masyarakat melakukan demonstrasi dengan mengumpulkan banyak orang dengan tidak menjaga jarak dan enggan memakai masker berpotensi melanggar hukum.
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021