PTM lebih seru dibandingkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang cuma sendiri, sunyi, di depan layar saja

Jakarta (ANTARA) - Para pelajar di Ibu Kota agaknya punya kesan dan asa tersendiri sejak Senin, 30 Agustus 2021.

Hal itu karena pemerintah memberi "lampu hijau" untuk dimulainya pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di DKI Jakarta.

Ini tentu membangkitkan asa bagi mereka untuk kembali berinteraksi secara langsung dengan guru dan teman-teman sebaya di sekolah.

Setidaknya, PTM lebih seru dibandingkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang cuma sendiri, sunyi, di depan layar saja.

Tak jarang, mayoritas siswa dan mahasiswa pun mulai merasa jenuh melakukan pembelajaran dalam jaringan (daring) dari rumah ini.

Mata pelajaran yang dijelaskan oleh guru secara langsung di depan kelas dinilai jauh lebih mudah ditangkap oleh para pelajar karena adanya interaksi yang intensif dan praktik langsung.

Terutama para pelajar sekolah kejuruan yang memiliki mata pelajaran praktik, mereka akan sulit menangkap penjelasan guru jika pembelajaran dilaksanakan secara daring.

Pada tingkatan tertentu, pembelajaran daring lebih banyak memakan biaya, di antaranya untuk mendukung ketersediaan jaringan internet dan 'membagi waktu orang tua' dalam mengajari anaknya belajar di rumah.

Kekhawatiran
Namun, layaknya sebuah kebijakan apa pun di negeri ini, selalu saja, masih menimbulkan pertanyaan, misalnya amankah?

Artinya, di sudut-sudut harapan kembalinya berinteraksi di tengah keterbatasan itu di sana masih ada kekhawatiran dari para pihak, terutama orang tua siswa.

Baca juga: Sekolah gelar PTM terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat

Meskipun sangat senang bisa melihat para pelajar menjalani PTM, keputusan pemerintah membuka kembali sekolah di masa pandemi COVID-19, jujur memang mengundang kekhawatiran.

Untuk itu, pihak sekolah harus tetap menjalankan protokol kesehatan (prokes) yang ketat, karena khawatir anak didiknya tertular COVID-19.

Apalagi, sebagai sebuah contoh, di kawasan Sunter, Jakarta Utara, ada sekolah yang bersebelahan dengan Rumah Sakit Darurat (RSD) Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, sehingga kekhawatiran orang tua bisa dibilang wajar.

Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, sekolah melaksanakan penyemprotan desinfektan ketika jam istirahat.

Seorang petugas mengecek suhu badan para siswa pada hari pertama pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di SMK Negeri 32 Jakarta, Tebet Dalam, Jakarta Selatan, Senin (30/8/2021). ANTARA/Sihol Hasugian

Seperti di SMA Jubilee School yang tetap menjaga antusiasme siswanya melaksanakan PTM hari kedua, meski sekolahnya bersebelahan dengan Rumah Sakit Darurat (RSD) COVID-19, Wisma Atlet Kemayoran.

Penyemprotan desinfektan tak hanya dilakukan pada sebelum pelaksanaan PTM saja, tapi pihak sekolah juga akan menyemprotkan ruang kelas setelah pelaksanaan PTM usai.

Kondisi meja belajar juga telah diatur jaraknya. Siswa pun tidak diperbolehkan keluar kelas kecuali untuk ke toilet dan pulang sekolah.

Sehingga walau bersebelahan dengan RSD COVID-19, orang tua tidak perlu khawatir karena pihak sekolah sudah menerapkan prokes yang sesuai.

Total siswa SMA Jubilee School sebanyak 273 orang dan yang menjalani PTM setiap hari 25 persen per kelasnya.

Itu jauh di bawah angka maksimal 50 persen yang diatur pemerintah melalui Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri.

Untuk sekolah yang ingin menggelar PTM, Kemendikbudristek membebaskan memilih jika mau melaksanakan PTM hanya dua kali seminggu. Jika mau pecah rombongan belajar dari satu menjadi tiga, juga dipersilakan.

Hanya saja, sekolah wajib memiliki daftar periksa untuk memastikan keberadaan toilet atau kamar mandi bersih, ketersediaan sarana cuci tangan dan cairan pembersih tangan, dan juga ketersediaan desinfektan.

Hal itu didorong betul supaya guru dan kepala sekolah bisa melaporkan daftar periksa itu.

Saat ini, ada 610 sekolah yang baru ikut PTM selama sepekan terakhir. Sebanyak 65 sekolah di antaranya berada di Jakarta Utara.

Asesmen
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan bahwa PTM sebagian yang saat ini dilakukan di Jakarta pada 610 sekolah tiap jenjang terus dipantau dan dilakukan asesmen atau penilaian terhadap kelaikan sekolah lainnya.

Asesmen tersebut, kata Anies mencakup dua bidang penilaian yakni pada infrastruktur sekolah seperti apakah memadai ruangan kelasnya, kemudian asesmen guru dan staf sekolah, hingga untuk para orang tua.

Baca juga: Pembelajaran tatap muka di DKI berjalan baik

Jika asesmen tersebut bisa dilewati, ucap Anies, maka sekolah yang bersangkutan bisa melakukan pembelajaran tatap muka juga seperti 610 sekolah lainnya.

Sebelumnya baru sebanyak 138 sekolah sudah pernah menggelar uji coba PTM sejak Juni, tetapi terhenti karena lonjakan kasus COVID-19.

Adanya daftar periksa yang terus dilakukan, bisa digunakan tim verifikasi untuk memastikan apakah keterangan di asesmen sesuai dengan kondisi sekolah.

Jika sekolah dinilai layak berdasarkan hasil asesmen di lapangan, maka pihak Dinas Pendidikan Provinsi DKI akan mengeluarkan surat keputusan (SK) yang menyatakan sekolah tersebut layak mengikuti PTM.

Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi DKI Jakarta mewajibkan setiap sekolah berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan (faskes) saat pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas berlangsung untuk memantau kondisi kesehatan para guru dan peserta didik.

Selain itu, Disdik DKI juga mendorong terus agar siswa dan guru mengikuti vaksinasi COVID-19.

Saat ini, total siswa yang sudah divaksin telah mencapai 90 persen dan akan terus ditingkatkan agar semua siswa di DKI siap mengikuti pembelajaran tatap muka.

Untuk tingkat vaksinasi sendiri, di Jakarta, penduduk yang berusia 12-17 tahun (usia sekolah) sebanyak 716.739 orang, sebanyak 92,5 persennya atau 659.684 siswa telah divaksin, sementara 50.836 atau 7,15 persen belum mendapatkan suntikan vaksin.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun memastikan 85 persen guru di seluruh sekolah wilayah Ibu Kota sudah tervaksin.

Adapun guru yang belum vaksin disebut karena memiliki penyakit penyerta atau komorbid.

Kehilangan generasi
Saat menghadapi pandemi, apalagi dengan ditemukannya varian baru virus corona yang lebih berbahaya, agaknya semuanya tak boleh pesimistis, pasrah, apalagi putus asa.

Karena bila anak-anak Indonesia kelamaan tidak pergi ke sekolah, itu tidak hanya membuat bangsa ini terancam kehilangan generasi (lost generation).

Tidak hanya itu, laporan dari berbagai penelitian sudah menyebutkan bahwa kejenuhan itu bisa saja membuahkan anak-anak Indonesia malas untuk belajar.

Baca juga: Legislator dorong perkuliahan tatap muka terbatas di DKI Jakarta

Artinya, semua pihak menjadi tertantang agar usia anak sekolah pada enam atau tujuh tahun hingga maksimal 23-25 tahun adalah masa keemasan untuk belajar.

Itulah tugas perkembangan yang harus dijalani anak-anak Indonesia, generasi muda, para pelajar untuk menuntaskannya dengan baik.

Merekalah calon pengganti estafet kepimpinan di Tanah Air ini untuk meneruskan pembangunan dan keberlangsungan bangsa ini ke depan.

Oleh karena itu, sangat tepat bila pemerintah melakukan berbagai upaya.

Pelajar turun dari Bus Sekolah Gratis untuk mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di SMKN 15 Jakarta, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (3/9/2021). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj

Salah satunya adalah mendorong percepatan realisasi belanja anggaran penanganan COVID-19, salah satunya untuk perlindungan anak-anak saat bersekolah secara tatap muka.

Pemerintah DKI Jakarta saja sudah tidak membiarkan anak-anak berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum lagi, tapi menjemput menggunakan bus sekolah.

Hal itu untuk meminimalisasi penularan di tempat-tempat umum.

Namun, baru sebanyak 70 unit bus sekolah yang saat ini beroperasi untuk melayani antar jemput pelajar di wilayah Jakarta.

Selain itu, kapasitas bus sekolah juga hanya 50 persen.

Agaknya unit bus sekolah tersebut perlu ditambah agar semakin banyak rute yang bisa melayani antar jemput siswa selama masa pandemi COVID-19.

Keberadaan bus antar-jemput ini juga bisa meminimalisasi maraknya pelajar melakukan kumpul-kumpul seusai pulang sekolah yang berisiko menimbulkan penularan COVID-19.

Jika itu bisa dilakukan, maka sudah tidak perlu lagi melibatkan personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk mengawasi potensi siswa kumpul-kumpul usai pulang sekolah.

Mereka bisa langsung pulang ke rumah, usai belajar di sekolah.

Contohnya, apa yang terjadi di SMAN 77 Jakarta Pusat saat PTM terbatas digelar.

Tampak sejumlah petugas Satpol PP mengawasi jalannya PTM terbatas hingga siswa pulang atau dijemput orang tuanya di sekolah.

Sekilas, keberadaan Satpol PP ini justru menambah potensi kerumunan karena jumlahnya lebih dari satu orang.

Akhirnya, agaknya bisa dipahami, dalam situasi pandemi yang belum benar-benar berakhir ini, PTM terbatas ini diharapkan jadi solusi sementara demi keberlangsungan proses belajar mengajar anak-anak bangsa.

Memang, di sana-sini masih ada sejumlah catatan, tetapi semua juga berharap agar asa di tengah pandemi ini terus membesar dan akhirnya membuahkan hasil sesuai harapan.

Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021