Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan berjanji akan mengkaji kembali keberadaa n LSM Asing Greenpeace di Indonesia terkait kampanye kerusakan hutan di Indonesia yang diduga kerap merilis data palsu.
"Jika ada kerusakan hutan di Indonesi, LSM sebagai lembaga kontrol sosial di luar pemerintah seharusnya memberikan masukan dan bersama-sama memperbaiki, bukan malah menjelek-jelekkan Indonesia di mata internasional," kata Zulkifli kepada wartawan usai membuka Seminar "Quo Vadis Hutan Indonesia?, Pembanguan Perubahan Iklim" yang digelar Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HAIPB), di Jakarta, Kamis.
Menhut mengatakan, kalau memang ada hutan yang rusak seharusnya Greenpeace memberikan masukan yang valid dan diperbaiki bersama-sama. Terpenting lagi, harus didasarkan pada kepentingan nasional. "Jika berani menjelek-jelekkan Indonesia berarti Greenpeace membela kepentingan lain. Itu yang patut dipertanyakan," ujarnya.
Menhut juga tak menampik seringnya Greenpeace berseberangan pendapat dengan pemerintah. Ia mencontohkan, untuk memperbaiki kerusakan hutan di Indonesia tidak bisa dikerjakan dalam waktu sehari. Untuk itu, ia meminta agar dunia internasional juga turut berperan serta memelihara lingkungan.
"Kita jangan juga dianggap hanya Satpam saja. Negara maju juga harus ikut serta memelihara kelestarian hutan. Kita juga harus bisa membangun dan mengembangkan wilayah kita. Negara asing juga harus ada kontribusi, jangan hanya Indonesia," katanya.
Sementara itu, Greenpeace mengakui kampanye lingkungan yang mereka lakukan kekurangan data pendukung. Sebab, selain data yang dimilikinya hanya merupakan hasil investigasi, mereka juga tidak melakukan penelitian sampai ke areal konsesi.
"Kita ini lembaga kampanye, bukan lembaga penelitian. Data yang kita miliki merupakan hasil investigasi. Kita lembaga kampanye, bukan lembaga penelitian. Data yang kita miliki merupakan hasil investigasi. Kita memang tidak melakukan penelitian di konsesi mereka," kata Yuyun Indradi, Potical Forest Campaigner dari Greenpeace Indonesia.
Di tempat yang sama, pengamat lingkungan hidup HS Dilon mempertanyakan motif Greenpeace di Indonesia. Ia menduga, Greenpeace dimanfaatkan oleh perusahaan asing guna melemahkan perekonomian nasional.
Ia menilai, isu lingkungan yang diusung Greenpeace tidak ada ubahnya dengan isu kesehatan yang pernah menimpa Indonesia puluhan tahun lalu. "Sekarang mungkin mereka lebih memilih lingkungan guna melemahkan perekonomian nasional," katanya.
Hal lain yang membuat Dilon meragukan kredibilitas Greenpeace adalah sikap Greenpeace yang selalu menyamaratakan pemerintah dan akademisi. "Greenpeace selalu menyamaratakan segala sesuatu. Karena ada pejabat yang tidak baik, mereka pikir akademisi Indonesia juga demikian. Padahal, anggapan itu jelas keliru," katanya menanggapi perbedaan hasil penelitian antara dua profesor IPB dengan Greenpeace.
Oleh karena aitu, katanya tuduhan Greenpeace yang mengatakan tanaman sawit menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar, sangat berlebihan. "Karena sawit juga mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar," tambahnya.
Viva Yoga, anggota Komisi IV DPR RI yang juga hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut juga meragukan independensi Greenpeace. Apalagi dalam seminar tersebut, Greenpeace yang diwakili Yuyun Indriati menolak melakukan debat terbuka dengan kedua profesor IPB.
"Greenpeace justru menolak melakukan klarifikasi terkait penelitian profesor IPB. Padahal, ini waktu yang tepat," katanya usai seminar.(*)
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010