Jakarta (ANTARA) - Sejak menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) dua tahun lalu, Tjahjo Kumolo optimistis bahwa kunci pemerintahan efektif adalah birokrasi yang sederhana.
Namun, menyederhanakan struktur birokrasi pemerintahan butuh kebijakan yang menggebrak dan tidak populer, khususnya bagi sebagian pegawai aparatur sipil negara (ASN). Pasalnya, gebrakan itu membuat banyak ASN terpaksa keluar dari zona nyaman.
Kebijakan menggebrak itu penting demi memenuhi arahan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin, yaitu menyederhanakan birokrasi pemerintah dan menguatkan jabatan fungsional.
Tjahjo bertindak cepat dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI No.28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional pada tahun yang sama saat ia dilantik sebagai menteri.
Peraturan itu yang dikeluarkan kurang dari dua bulan setelah Tjahjo dilantik, mendukung kebijakan Menpan RB memangkas 39.000 jabatan ASN setingkat eselon III dan eselon IV sampai Februari 2021.
Baca juga: Kemenpan RB dorong Perpusnas tingkatkan reformasi birokrasi
Dalam laporannya kepada Wapres Ma’ruf Amin pada 4 Maret 2021, Tjahjo menjelaskan jabatan-jabatan administrasi itu akan beralih jadi jabatan fungsional.
Menurut Tjahjo, penyederhanaan itu akan membuat birokrasi jadi sederhana sehingga pelayanan publik yang diberikan oleh kantor pemerintah dapat berjalan lebih efektif.
Tjahjo menilai banyak layanan publik berjalan terlalu lama karena ada tahapan birokrasi panjang yang harus dilewati. Dengan demikian, pemangkasan itu diharapkan dapat membuat birokrasi jadi sederhana dan keputusan dapat diambil lebih cepat oleh pejabat yang berwenang.
Langkah itu dapat membuat para ASN tidak lagi fokus mengincar jabatan struktural. Tjahjo menginginkan jajaran ASN fokus meningkatkan kinerja secara profesional demi memberi pelayanan terbaik bagi publik.
Pada umumnya para birokrat lebih berorientasi pada jabatan struktural, seolah-olah bahwa para pemangku jabatan struktural memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sedemikian kuat.
Pola pikir demikian menjauhkan ASN dari marwahnya sebagai pelayan publik.
Oleh karena itu, Menpan RB berharap kebijakan itu dapat mengubah pola pikir ASN yang masih mengejar jabatan struktural, mengingat jenjang karier ASN saat ini ditentukan kinerjanya dalam melayani publik dan kompetensi sebagai pelayan publik.
Pola pikir lama seperti ini akan diubah menjadi pola pikir yang lebih mengoptimalkan fungsi-fungsi spesifik tugas pemerintahan yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.
Reformasi yang mengakar
Berbagai perubahan pada struktur birokrasi telah dilakukan oleh Kemenpan RB, tetapi pertanyaannya kemudian bagaimana dengan kondisi yang sifatnya nonfisik tetapi turut menentukan kualitas kinerja para birokrat dalam memberi pelayanan publik, misalnya terkait integritas, kepatuhan pada kode etik, sikap jujur, transparan, dan akuntabilitas?
Kondisi-kondisi yang sifatnya nonfisik itu, jika meminjam pemikiran para strukturalis merupakan bagian dari struktur. Dengan demikian, semua itu seharusnya tidak terlepas dari sasaran reformasi birokrasi yang dilakukan Kemenpan RB guna menciptakan pemerintahan efektif dan pelayanan publik yang profesional.
Baca juga: Menpan RB: Reformasi birokrasi diarahkan pada dua tujuan utama
Kemenpan RB memang telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program demi meningkatkan integritas para birokrat, yaitu memberi label Zona Integritas di instansi-instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya dinilai punya berkomitmen mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Tidak hanya itu, Kemenpan RB bersama Ombudsman dan Kantor Staf Kepresidenan mengelola aplikasi Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) sebagai kanal aduan terpusat yang saat ini terhubung dengan 34 kementerian, 96 lembaga, dan 493 pemerintah daerah di Indonesia.
Walaupun demikian, berbagai terobosan itu belum cukup karena saat ini konflik kepentingan, rangkap jabatan, dan pelanggaran kode etik tidak sulit ditemukan terjadi di instansi-instansi pemerintah.
Kasus pelanggaran etika yang cukup populer dalam beberapa minggu terakhir melibatkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar yang telah dinyatakan bersalah oleh Dewan Pengawas KPK dan diberi hukuman pemotongan gaji sebesar Rp1,8 juta selama satu tahun.
Hukuman itu dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi publik karena pemotongan gaji yang nilainya hanya sekitar satu persen dari total penerimaan Lili dari KPK. Sanksi itu juga diyakini tidak akan menjadi efek jera bagi para pelaku pelanggaran etik ke depannya.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menegaskan Lili seharusnya dipecat atau mengundurkan diri demi menjaga marwah KPK sebagai pemberantas korupsi dan itu jadi preseden baik bagi para pelanggar etika.
Namun untuk memiliki kepekaan itu -- atau setidaknya budaya malu berbuat salah -- bukan sesuatu yang dapat dibentuk oleh peraturan dan regulasi. Budaya malu dibentuk karena ada kebiasaan yang ditempa sejak dini serta didukung oleh lingkungan sekitar.
Jika lingkungan di institusi pemerintah mendukung tumbuh kembangnya budaya malu, maka pelanggaran etika dan hukum mungkin akan minimal. Pasalnya, ada keengganan dan kesungkanan untuk berbuat demikian. Apabila ada pelanggaran, tentu para pejabat atau birokrat yang bersalah tidak perlu sampai didesak publik untuk mengundurkan diri.
Pertanyaannya, apakah lingkungan kerja instansi pemerintah mendukung tumbuhnya budaya malu, sementara berbagai potensi adanya konflik kepentingan akibat rangkap jabatan seolah-olah jadi kondisi yang normal saat ini. Sejak periode kedua pemerintahan Presiden RI Joko Widodo, beberapa menteri merangkap jabatan sebagai pengurus dan pimpinan partai politik.
Baca juga: Menpan RB imbau K/L segera sempurnakan penyederhanaan birokrasi
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengingatkan konflik kepentingan wajib dijauhi oleh para pejabat publik, karena berpotensi menjadi celah tindak pidana korupsi. Konflik kepentingan pada pejabat publik juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Terkait itu, upaya mereformasi struktur birokrasi tentu tidak cukup dengan penyederhanaan organisasi, digitalisasi, atau pemberian predikat Zona Integritas di instansi-instansi pemerintah. Pasalnya, perubahan paling mendasar ada pada pola pikir, pemahaman, dan kebiasaan para birokrat -- setidaknya untuk punya budaya malu jika terbukti berbuat kesalahan.
Namun, reformasi yang mengakar pada alam pikir, kesadaran, dan perbuatan para birokrat tidak dapat dilakukan hanya dengan jargon-jargon, slogan, dan pelatihan. Perubahan itu hanya mungkin terjadi jika antara lain ada komitmen bersama menegakkan hukum, mempraktikkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) secara lengkap dan utuh, serta adanya keteladanan pimpinan-pimpinan instansi pemerintah untuk konsisten memegang integritas sebagai pelayan publik dan pengabdi negara.
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021