Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meluncurkan buku "Negara Butuh Haluan" merupakan seri tulisannya menanggapi reaksi atas Rekomendasi MPR RI Periode 2009-2014 dan 20014-2019 tentang perlunya menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara melalui amendemen terbatas untuk menjaga kesinambungan pembangunan.
"Amendemen terbatas fokus pada upaya bersama menyusun dan menghadirkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) sebagai pedoman dan kerangka rencana pembangunan nasional yang berkelanjutan," kata Bambang Soesatyo atau Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, meskipun jalan yang ditempuh MPR RI Periode 2019-2024 dalam mengambil kebijakan melalui musyawarah dan mufakat namun ada dinamika.
Dia menilai dinamika menunjukkan ada ruang terbuka untuk menyampaikan pandangan dan gagasan, misalnya ada keinginan untuk menghidupkan kembali rancangan pembangunan model Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Model pembangunan yang sekarang disebut PPHN itu sekarang sedang dibahas di MPR. Untuk membahas PPHN, MPR menjaring berbagai masukan dan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat," ujarnya.
Bamsoet menjelaskan pimpinan MPR rutin mendatangi perguruan tinggi di berbagai kota untuk meminta masukan dari kalangan akademisi terkait landasan pembangunan bangsa Indonesia untuk 25 tahun, 50 tahun hingga 100 tahun ke depan.
Baca juga: Ketua MPR sebut sektor hukum harus merespons revolusi digital
Dia mengakui dalam PPHN dinamika di MPR sangat dinamis, apalagi keinginan amendemen terbatas untuk memasukkan PPHN dalam UUD NRI 1945 itu sudah bergaung sejak 2 periode atau 10 tahun yang lalu.
"Saya senang menghadirkan PPHN sebagai sebuah diskursus ketatanegaraan dan menunjukkan eksistensi MPR, bisa dikatakan telah berhasil. Namun menjadikan wacana tersebut sebagai sebuah usul perubahan tentu sangat tergantung pada keputusan partai politik yang ada di MPR dan kelompok DPD," katanya.
Menurut dia, sesungguhnya perubahan UUD NRI 1945 telah diatur prosedurnya dan konstitusi tersebut tidak imun dengan perubahan karena memang pembentukannya mendesain perubahan UUD 1945 sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Namun menurut Bamsoet, diskursus amendemen terbatas untuk menghadirkan kembali PPHN yang kemudian banyak "dipelintir" dan "digoreng" sebagai upaya perubahan periodisasi presiden menjadi 3 kali atau upaya perpanjangan masa jabatan presiden.
Baca juga: Bamsoet minta pemerintah pastikan anak kehilangan orangtua terlindungi
Selain itu, menurut dia, ada isu-isu lain serta kecurigaan yang terlalu prematur, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki beragam pikiran dan pendapat.
"Ada yang berpendapat, kenapa harus terbatas, kenapa tidak sekalian dikaji secara menyeluruh untuk menjawab tantangan dan dinamika zaman atau kenapa kita tidak kembali saja ke UUD 1945 yang asli dibuat oleh para pendiri bangsa, jika ada penyesuaian atau perubahan dimasukkan dalam adendum seperti di negara Amerika Serikat," ujarnya.
Menurut dia, UUD 1945 hasil empat kali amendemen saat ini tidak sesuai dengan semangat para pendiri bangsa dan banyak lagi pendapat yang saling berkeliran dan simpang siur di publik.
Dia menjelaskan MPR sebagai rumah kebangsaan sangat terbuka bagi siapa saja untuk menyampaikan saran maupun kritik.
"Karena saya yakin dan percaya, semua yang disampaikan ujungnya adalah untuk kepentingan bangsa agar Indonesia maju dan tumbuh," katanya.
Bamsoet menjelaskan PPHN diperlukan sebagai pedoman dan upaya untuk melahirkan negarawan yang otentik agar bangsa Indonesia tidak terus menerus berganti haluan manakala terjadi pergantian pemimpin nasional.
Baca juga: Bamsoet minta antisipasi pandemi COVID-19 jadi endemi
Karena itu, menurut dia, menghadirkan kembali PPHN sebagai visi negara, jangan dipahami dengan pendekatan politik praktis.
Bamsoet meluncurkan buku ke-21 berjudul "Negara Butuh Haluan" yang akan diterbitkan dan diluncurkan tanggal 10 September 2021 bersamaan dengan Buku Bamsoet ke-20 berjudul "Hadapi dengan Senyuman, Vaksinasi Kesehatan Vs Vaksinasi Ideologi".
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021