Bogor (ANTARA News) - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshidiqie mengatakan sebaiknya Sultan dan Pakualam jangan masuk ke dalam partai politik sebab justru akan membuat rawan politisasi dalam penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur.
"Sultan dan Paku Alam sebaiknya tidak berpolitik praktis, untuk menghindari politisasi dari jabatan itu dan mencegah konflik karena politisasi. Kalau keluarganya boleh, tapi kalau diangkat menjadi sultan harus keluar," kata Jimly di Bogor, Selasa malam.
Ia mengatakan, sistem penetapan sultan menjadi gubernur merupakan kekhususan Yogyakarta yang telah diakui negara. Ia menjelaskan, Hal itu telah tertuang dalam Amandemen UUD 1945 pasal 18B."Pasal 18B itu sebagai pengakuan terhadap kekhususan daerah dan dikecualikan dari Pasal 18 Ayat 4," katanya.
Pasal 18B ayat 1 UUD 1945 menyatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Sedangkan pasal 18B ayat menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk itu, menurut dia, sistem yang dipakai oleh pemerintah Yogyakarta saat ini dalam bentuk penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur tetap sah.
Sementara pasal 18 ayat 4 hasil perubahan tahun 2000, menyatakan gubernur, bupati, dan walikota masing-masing kepala daerah pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Sedangkan ayat 7 menyatakan susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Menurut dia, kekhususan ini tidak hanya dimiliki oleh Yogyakarta. DKI Jakarta juga memperoleh kekhususan dalam penerapan eksekutif dimana walikota di daerah DKI tidak dipilih tapi diangkat. Begitu pula dengan Aceh yang dikhususkan dalam pemerintahan adanya wali nangro Aceh Darussalam dan juga pengadilan syariah Aceh. Sementara di Papua, kekhususan juga ditampakan dari sisi legislatif dengan memasukan Majelis Rakyat Papua.
"Jadi kalau diajukan uji materi terhadap Yogyakarta, MK pasti mudah sekali pasti ditolak. Yogyakarta itu NKRI dengan r kecil. Jadi apapun bajunya, tetap dalam bingkai NKRI," katanya.
Menurut dia, seharusnya negara tidak perlu ikut campur. "UUD 1945 tahun 2000, itu mengatakan kami mengakui dan menghormati anda Yogyakarta dengan penetapan," katanya.
Ia menambahkan apabila nantinya terjadi konflik dalam menentukan Sultan atau Paku Alam dalam keluarga kerajaan, maka negara tidak perlu turut campur.
"Itu urusan dia kalau (Yogyakarta) terjadi konflik. Pemerintah pusat bisa membantu, tetapi itu tidak mengubah hakekatnya," katanya.
Ia menambahkan, bantuan tersebut dapat berupa aturan untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik. "Misalnya Sultan dan Pakua Alam tidak boleh berpolitik praktis untuk mencegah konflik dari politisasi," katanya. (ANT/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010