"Kami terus mendorong pemda, pemkab/ kota melakukan reunifikasi dan rehabilitasi sosial anak. Penting untuk menyediakan pengasuhan alternatif berbasis keluarga, bukan berbasis panti," kata Arist dalam webinar bertajuk "Perlindungan Terhadap Anak yang Terdampak COVID-19" yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, upaya ini penting dilakukan agar kondisi anak-anak yatim piatu itu bisa dikembalikan ke situasi yang lebih baik.
Baca juga: Penanganan anak yatim piatu akibat COVID-19 dilakukan lintas sektor Dengan mendapat keluarga alternatif, anak-anak ini diharapkan terhindar dari sejumlah dampak buruk pelanggaran hak anak diantaranya korban perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial, perbudakan seks, kemungkinan pindah agama, perebutan hak asuh anak. Kemudian korban eksploitasi ekonomi, korban kekerasan seksual dan pelanggaran-pelanggaran hak anak lainnya termasuk penelantaran dan anak putus sekolah.
Pihaknya memperkirakan sedikitnya ada 23.767 anak Indonesia menjadi yatim piatu akibat kehilangan orang tua mereka selama masa pandemi COVID-19.
“Artinya ada 23.767 anak yang terkonfirmasi kehilangan pengasuhan dan anak telantar,” katanya.
Bahkan menurut data Kementerian Sosial tercatat ada 4,1 juta anak balita telantar sebelum masa pandemi.
Arist menyebut pemerintah harus segera menyiapkan keluarga alternatif. Pencarian keluarga alternatif ini harus berdasarkan penilaian dengan kriteria tertentu.
"Asesmen untuk mencari keluarga alternatif itu sangat penting. Kemudian ketika reunifikasi dan rehabilitasi sosial itu pemerintah harus ada di sana. Memberikan stimulus untuk biaya-biaya kehidupan dari keluarga itu sehingga anak betul-betul bisa terlindungi dengan baik,” katanya.
Baca juga: Kemensos usul anggaran Rp11 triliun untuk anak yatim piatu pada 2022
Baca juga: Pemerhati minta masyarakat perhatikan anak yatim piatu akibat COVID-19
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021