"Setiap memasuki bulan Suro TMII sebagai benteng budaya nusantara selalu menggelar Pekan Suro untuk melestarikan budaya luhur kerajaan Hindu dan Islam," kata Asisten Manajer Komunikasi Promosi TMII Gunawan Wibisono di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan, kegiatan ini bertujuan memohon keikhlasan, ketentraman, dan keselamatan bagi orang yang menyelenggarakannya, dan kegiatan ini menjadi tradisi hampir seluruh masyarakat di Indonesia.
"Bagi masyarakat Jawa, malam Suro diyakini sebagai malam penuh berkah, dan itu sebabnya setiap menyambut tahun baru kalender Jawa, TMII seperti tahun-tahun sebelumnya memperingati dengan berdoa melalui upacara Selamatan Agung di Sasana Adirasa dengan membawa berkat berupa tumpeng, hasil bumi dan berbagai jenis makanan lainnya yang akan dibagikan kepada masyarakat luas," ujarnya.
Kegiatan Pekan Suro diisi antara lain Nada dan Dakwah bersama Kyai Ganjur dan artis-artis ibu kota, pagelaran wayang kulit dengan Dalang Ki Purbo Asmoro, dan Ruwatan Sukerto Murwakala dengan Dalang Ki Sri Sadono Amongrogo pada 6 Desember 2010.
Pada 7 Desember 2010 dipentaskan Gerebek Muharram, Ruwatan Murwokala dengan Dalang Ki Timbul Hadi Prayitno, dan Ruwatan Murwokala dengan Dalang Ki Manteb Sudarsono di Hotel Desa Wisata TMII.
Sejarah ritual Suro sudah dimulai sejak zaman Sultan Agung pada tahun saka 78 di mana tahun Jawa satu Suro dimulai pada satu Muharram 1043 dalam tahun Hijriah 8 Juli 1963. Ritual Suro dianggap sakral karena tidak hanya orang Jawa yang memperingatinya, namun tradisi yang hampir mirip diterima di kota lain.
Ruwatan berasal dari budaya Jawa yang diselenggarakan sejak jaman Erlangga sekitar abad ke 10 Masehi. Upacara ruwatan tujuannya untuk menyucikan diri.
"Tanggal satu Suro atau Muharram adalah hari terbaik yang datang setahun sekali, gunanya untuk membersihkan jiwa manusia dari kotoran, dan 11 Asura memiliki banyak keutamaan," ujarnya.
(ANT-135/N002/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010