"Lagi-lagi prinsip negara hukum diruntuhkan dalam kasus yang menjerat Pak Saiful Mahdi," kata dia di Jakarta, Rabu.
Dalam prinsip negara hukum, Prof Susi menilai pengadilan seharusnya berdiri di garda terdepan untuk memenuhi dan meneguhkan prinsip negara hukum di Indonesia.
Baca juga: Dosen Unsyiah divonis tiga bulan penjara karena pencemaran nama baik
Apalagi, katanya, prinsip tersebut telah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang seharusnya menjadi norma dan konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan lembaga peradilan yang berada di bawahnya harus memegang teguh dalam menjalankan atau menafsirkan prinsip negara hukum.
Kasus yang menimpa dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unsyiah tersebut, Prof Susi memandang hakim hanya berperan seakan-akan sebagai corong undang-undang, tetapi tidak menjalankan fungsi lainnya yakni menemukan hukum atau menafsirkan ketentuan-ketentuan yang ada di pasal yang dituduhkan pada terdakwa.
"Jelas tujuannya untuk keadilan sosial dan humanisasi," kata dia.
Baca juga: Menristekdikti diminta fasilitasi damaikan kasus dosen Unsyiah
Sebagaimana diketahui Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh memvonis Saiful Mahdi tiga bulan penjara dan denda subsider Rp10 juta, subsider satu bulan penjara.
Tidak terima atas putusan PN Banda Aceh, dosen Unsyiah tersebut mengajukan banding dan kasasi namun ditolak.
Kasus tersebut bermula saat Saiful Mahdi menyampaikan kritik di salah satu grup percakapan WhatsApp terkait hasil penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di kampus tempat ia mengajar.
Namun, kritikan yang disampaikannya tersebut dianggap sebagai bentuk pencemaran nama baik dan melanggar ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Baca juga: Kasus pencemaran nama baik dosen Unsyiah segera ke pengadilan
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021