Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Abrar Saleng mengatakan dibutuhkan ketelitian untuk memberikan legalisasi aset masyarakat pesisir yang hidup di atas air.
"Dibutuhkan kehati-hatian dan ketelitian karena karakteristiknya berkaitan dengan dua area yg berbeda, yaitu laut dan tanah di bawah air," kata Abrar dalam diskusi publik "Legalisasi Aset Pemukiman Masyarakat di Atas Air Pasca-Undang-Undang Cipta Kerja" yang digelar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Rabu.
Dia mengatakan bahwa tujuan memberikan hak berupa legalisasi aset masyarakat yang hidup di atas air secara turun temurun harus berangkat dari kesamaan persepsi mengenai permukaan tanah serta tanah yang berada di permukaan air.
Hal itu untuk memastikan keabsahan dan dasar dari legalisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengingat langkah tersebut merupakan bagian dari reforma agraria, katanya.
Baca juga: KSP ajak kementerian/lembaga berperan aktif dorong reforma agraria
Oleh karena itu, Abrar menekankan pentingnya implementasi sinergi kelembagaan dan harmonisasi regulasi, termasuk Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksana terkait yang menjadi pengurai tumpang tindih regulasi selama ini.
Mengenai sasaran legalisasi aset, dia menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat yang menetap di atas air sebagai subyek hak atas tanah, yakni telah bermukim dan menetap secara turun temurun di atas air, memiliki kehidupan sederhana dan ekonomi lemah, memiliki mata pencaharian sepenuhnya di wilayah perairan pesisir, serta memiliki akses pendidikan dan kesehatan minim.
"Perlu pembatasan subyek atas legalisasi aset masyarakat yang hidup di atas air, hanya terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun, bisa masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional," ujar Abrar.
Dia turut menyoroti perdebatan mengenai pemberian dua aspek berbeda, yakni hak dan izin dalam legalisasi aset masyarakat pesisir yang hidup di atas air.
Menurutnya, izin hanya berkaitan dengan pemanfaatan dan penggunaannya, sedangkan konteks hak berhubungan dengan hukum antara penguasaan atau kepemilikan hak atas tanah itu sendiri.
Baca juga: Desa Lancang Kuning di Bintan jadi pilot project reforma agraria
"Dari sisi hukum sebaiknya hak dulu diberikan, baru izin. Jangan dibalik," tutur Abrar.
Dia mengingatkan bahwa kehati-hatian diperlukan dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya, terutama terhadap penguasaan dan kepemilikan sumber daya agar tidak menciptakan ketimpangan.
UU Cipta Kerja tidak boleh dijadikan instrumen legalisasi aset bagi investor asing, tegas dia.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil menegaskan pentingnya kehadiran negara untuk memberikan hak masyarakat pesisir atas tempat tinggalnya selama ini, seperti kepada Suku Bajau, masyarakat pesisir di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, hingga masyarakat di Kepulauan Riau yang sejak dulu hidup di atas air.
Baca juga: Ombudsman: Tumpang tindih kepemilikan tanah bayangi reforma agraria
Sofyan menyatakan bahwa pemberian hak itu harus dilakukan tepat sasaran dan tidak boleh dilakukan secara keliru, seperti memberikan akses terhadap pengusaha.
"Jangan sampai memberikan hak aset di atas air dan orang tradisional digusur, kemudian pinggir laut dikuasai secara tidak adil oleh para pengusaha yang tidak bertanggung jawab," kata Sofyan.
Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021