Jakarta (ANTARA News) - Apa kata aktris sekaligus aktivis Happy Salma tentang pelecehan seksual?  "Pelecehan bisa terjadi pada siapa saja dan profesi apapun. Saya dan adik saya pernah mengalami pelecehan seksual," ujarnya.

Happy mengemukakan hal itu ketika menjadi pembicara di dialog publik bertajuk Stop Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Gedung Panti Trisula Perwari Menteng, Jakarta.

Menurut Happy, pelecehan itu tumbuh subur karena undang-undang yang ada tidak melindungi perempuan , ia menyebut undang-undang pornografi sebagai contoh.

"Undang-undang bisa semakin banyak tapi yang paling penting adalah terealisasi atau tidak," tutur Happy yang telah menikah tersebut.

Sementara itu aktivis  dari Mitra Perempuan WCC (Women Crisis Centre) Rita Serena Kolibonso mengatakan bahwa dalam hukum Indonesia pelecehan seksual  belum disebut sebagai kejahatan.

Ia menjelaskan bahwa korban tidak mudah mengungkapkan hal yang dialaminya. "Kekerasan juga sering menimpa perempuan yang bekerja pada lingkungan yang mayoritas pekerjanya adalah laki laki," kata Rita.

Dalam dialog itu terungkap bahwa Amerika, Inggris, Prancis dan Hong Kong sudah memiliki undang-undang khusus terhadap persoalan pelecehan seksual yang dialami perempuan.

Berdasarkan data dari WCC setiap hari di Indonesia terjadi 5 kasus perkosaan yang berarti setiap lima jam dalam sehari terjadi pemerkosaan terhadap perempuan.

Sementara itu, praktisi media Maman Suherman mengatakan penanggulangan pelecehan seksual  terhadap kaum perempuan harus melibatkan kaum laki-laki. "Perempuan dan laki-laki harus bekerja sama dalam menyelesaikan kasus pelecehan seksual," kata Maman.

Maman mengungkapkan bahwa persoalan yang mendasar adalah perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mengatakan ya atau tidak dalam ideologi yang patriarkal.

"Penanganan isu pelecehan seksual perempuan jangan memarjinalkan peran pria karena dalam persoalan itu pria mengambil peranan penting dan dapat diajak bekerja sama untuk menyelesaikannya," kata Maman.

Ia juga mengkritik media yang melakukan pemberitaan dengan melecehkan perempuan.  "Misalnya, lewat  judul yang melecehkan dan merendahkan kaum perempuan. Membuat berita itu penerapannya harus melihat dari sisi perempuan," ujarnya.
(yud/A038/BRT)

Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010