"Daerah lain yang memiliki kerajaan atau kesultanan belum memiliki DPRD, namun Yogyakarta sudah memiliki lebih dahulu. Ini menunjukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan orang yang demokratis, termasuk rakyat Yogyakarta," kata Romzi dalam Diskusi Publik "Monarki Versus Demokrasi" yang digelar Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permusi) di Jakarta, Jumat.
Terlebih, lanjut dia, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pernah menjadi Ibu Kota Negara RI pada 1946 hingga 1949.
Ia mengatakan, dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18B telah mengatur tentang pemerintah daerah yang mempunyai kekhususan dan keistimewaan sendiri.
Dalam ayat 1 pasal 18B disebutkan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur undang-undang.
Selain itu ayat 2 menyebutkan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
"Bila Yogyakarta dinilai melanggar konstitusi, konstitusi yang mana. Tidak ada pemilihan langsung bukan berati tidak demokratis. Demokrasi tidak bisa diukur dengan adanya pemilihan," kata mantan Panitia Khusus (Pansus) RUUK DIY periode 2004-2009 dari Fraksi PPP itu.
Di tempat yang sama, pengamat politik dari Reform Institute, Yudi Latief, mengatakan, negara yang memiliki sistem monarki lebih demokratis dibandingkan Indonesia, seperti Inggris, Jepang, dan negara lainnya.
"Rakyat Yogyakarta bukan merupakan `penumpang gelap`, tapi sudah diakui oleh konstitusi. Yogyakarta diberikan keistimewaan dibandingkan daerah lain," katanya.
(ANT/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010