"Kita sudah punya aturan tentang kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya, tapi penerapannya belum optimal," katanya kepada ANTARA di sela-sela penataran hukum nasional di Surabaya, Kamis.
Di sela-sela Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi 2010 yang digelar Ubaya, UPH Surabaya, dan Mahupiki (Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia) itu, ia mengatakan LHKPN itu merupakan kunci utama.
"Dari LHKPN itu, aparat penegak hukum dapat menyita harta penyelenggara negara yang tidak wajar dan baru dikembalikan bila penyelenggara negara yang dimaksud dapat membuktikan asal-usulnya atau menunggu putusan hakim," katanya.
Oleh karena itu, katanya, LHKPN itu perlu diberlakukan secara optimal melalui komitmen presiden untuk itu, sehingga tindak pidana korupsi dapat dicegah sedini mungkin.
"Hal itu juga perlu didukung dengan penegakan hukum khusus koruptor yang tidak hanya berat kepada pidana, melainkan juga fokus kepada perdata untuk mengejar uang dari para koruptor," katanya.
Ia mencontohkan kasus terdakwa mafia pajak Gayus Tambunan sebagai bukti aparat penegak hukum tidak fokus kepada hukum perdata dan membiarkan uang negara tidak dapat dikembalikan.
"Karena itu, laporan kami kepada polisi tentang isi rekening Gayus Tambunan sebesar Rp28 miliar pun lenyap, karena sudah `diangkat` Gayus akibat polisi mementingkan urusan pidana, padahal mestinya bisa disita dulu dan bisa dikembalikan bila sudah ada putusan hakim," katanya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya M Syaiful Aris meminta Ketua KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung yang baru "mengeroyok" (bersinergi) menuntaskan kasus Gayus Tambunan dan kasus Century.
"Kasus Gayus Tambunan dan Century itu jadi kasus taruhan Pak Busyro, Pak Timur Pradopo, dan Pak Basrief Arief, apalagi kasus itu ada unsur politik karena itu mereka harus `mengeroyok` kasus besar itu," katanya. (ANT/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010