Jakarta (ANTARA) - Peraturan Presiden No 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional yang dikeluarkan pada paruh terakhir Agustus 2021 ini merupakan secercah harapan dalam rangka memberikan struktur yang lebih kuat dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan seutuhnya.
Pasalnya, kehadiran Badan Pangan Nasional memang telah lama dinanti-nanti karena sudah diamanatkan oleh UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan yang mewajibkan pemerintah membentuk Badan Pangan Nasional paling lambat selama tiga tahun setelah Undang-undang pangan tersebut berlaku.
Tidak heran bila sejumlah pihak seperti Anggota Komisi IV DPR RI Slamet menyatakan dikeluarkannya Perpres tentang Badan Pangan Nasional ini merupakan langkah positif yang diapresiasi, tetapi sebenarnya momentum untuk hal tersebut dinilai agak terlambat karena badan tersebut seharusnya sudah terbentuk sekitar enam tahun lalu.
Berdasarkan perpres tersebut, dijabarkan bahwa fungsi dari Badan Pangan Nasional mencakup fungsi koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi pangan, dan keamanan pangan.
Kemudian, terdapat pula fungsi pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pangan.
Dengan berbagai fungsi tersebut, Slamet mengutarakan harapannya agar Badan Pangan Nasional juga memiliki kewenangan yang sangat kuat dalam rangka menyelesaikan tumpang tindih data dan kebijakan penyediaan pangan termasuk impor.
Apalagi, politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu juga mengingatkan bahwa kerap terjadi silang pendapat di internal pemerintah terkait impor komoditas bahan pangan tertentu.
Masih dalam perpres tersebut juga terungkap bahwa wewenang pengawasan Badan Pangan Nasional hanya dibatasi kepada sembilan bahan pangan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
Keseluruhan pangan
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah menyatakan, selayaknya wewenang Badan Pangan Nasional jangan dibatasi hanya kepada sembilan komoditas tetapi harus mencakup keseluruhan pangan di Tanah Air.
Said Abdullah mengingakan bahwa salah satu rujukan dalam Perpres terkait Bahan Pangan Nasional, adalah Perpres tentang Ketahanan Pangan dan Gizi yang mendefinisikan pangan dalam konteks luas.
Melalui langkah pembatasan tersebut, maka dicemaskan ke depannya akan ada semacam pereduksian makna pangan, serta membuat tekanan kepada keragaman pangan yang sebenarnya ada di bumi Nusantara ini.
Dengan kata lain, Said menyatakan bahwa pembatasan hanya terhadap komoditas pangan tertentu dapat memunculkan kekhawatiran semakin seragamnya pola pangan yang bisa menyebabkan kerentanan dan hilangnya pangan lokal yang selama ini menjadi kekuatan Indonesia.
Namun, ia juga berharap agar terbitnya Perpres Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional membawa harapan selesainya sengkarut pangan terutama terkait impor pangan.
Hal tersebut karena dalam Perpres tersebut, Pasal 28 dan 29 memberikan kewenangan kepada Badan Pangan Nasional untuk mengambil kebijakan importasi termasuk penentuan HPP yang selama ini menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.
Kewenangan ini juga dinilai Badan Pangan Nasional memiliki kekuatan dan harusnya bebas dari intervensi pihak lain dalam membuat kebijakan terlebih keberadaannya langsung di bawah Kepala Negara.
Sejumlah ketentuan lainnya, seperti Pasal 45 dan Pasal 50 Perpres Nomor 66/2021 menjelaskan bahwa peran Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang selama ini berada di bawah Kementerian Pertanian akan diserap ke dalam Badan Pangan Nasional.
Selain itu, Badan Pangan Nasional juga diberikan kewenangan dalam rangka penugasan kepada Bulog sebagai pelaksana kebijakan, sebagaimana tertuang dalam pasal 3c dan Pasal 29 tentang pengadaan, distribusi dan penyimpanan cadangan pangan pemerintah.
Tidak dipungkiri bahwa selama ini peran regulator pangan di Indonesia kerap terasa tumpang tindih sehingga dengan adanya Badan Pangan Nasional, maka diharapkan ke depannya akan mewujudkan terciptanya pengelolaan pangan negara yang terintegrasi di Tanah Air.
Koordinasi kuat
Lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) juga sepakat bahwa pembentukan Badan Pangan Nasional yang tertuang dalam Perpres Nomor 66/2021 berpotensi memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi memerlukan langkah koordinasi yang kuat agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain.
Kepala Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta berpendapat bahwa selama Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Bulog memiliki peran dan wewenangnya masing-masing, maka BPN harus bisa mengkoordinasikan ini semua ini dengan baik dan bukan malah menambah tumpang tindih peraturan dan otoritas.
Apalagi, sistem ketahanan pangan dinilai sangat kompleks dan membutuhkan koordinasi lintas-kementerian yang kuat, mulai dari isu pertanian di bagian hulu, industri pengolahan pascapanen, distribusi dan logistik, keamanan dan kualitas, pola konsumsi masyarakat, perdagangan pangan dan tata niaga komoditas.
Sejumlah peran dari beberapa kementerian yang diambil alih antara lain peran Kementerian Pertanian yang akan mendelegasikan pembuatan kebijakan untuk cadangan pangan pemerintah dan kebijakan harga (HPP) kepada Badan Pangan Nasional.
Sementara Kementerian Perdagangan akan menyerahkan kewenangannya dalam pembuatan kebijakan untuk stabilisasi harga. Pasal 49 dari Perpres tersebut menyebutkan bahwa peran dan tanggung jawab Kementerian Perdagangan untuk menjamin stok dan menstabilkan harga tetap berlaku, tetapi hanya untuk komoditas di luar sembilan komoditas yang ditangani Badan Pangan Nasional.
Selain itu, CIPS juga menekankan pentingnya kebijakan yang ada dapat mengatasi ketimpangan produktivitas pangan antarwilayah, sebagaimana data BPS menunjukkan bahwa produktivitas padi yang dihasilkan di Pulau Jawa lebih tinggi 23 persen dari produktivitas padi di luar Jawa.
Selain itu, rata-rata produktivitas petani padi di luar Jawa hanya mencapai 45,78 kuintal GKG per hektar, lebih rendah dari produktivitas petani padi di Pulau Jawa yang sebesar 56,42 kuintal GKG per hektar.
Akibatnya, masih menurut dia, walaupun luas panen padi di luar Jawa berkontribusi pada sekitar 50 persen dari total luas panen padi nasional yang mencapai 10,68 juta hektar di 2019, kontribusi petani luar Jawa terhadap produksi padi nasional hanya sebesar 44 persen.
Memang banyak PR yang harus dihadapi oleh Badan Pangan Nasional yang baru terbentuk ini, tetapi kehadirannya sudah merupakan secercah harapan bagi pembenahan sektor pangan di Indonesia.
Baca juga: Buwas sebut Bulog sudah lakukan persiapan untuk penugasan Badan Pangan
Baca juga: Wakil Ketua DPD berharap Badan Pangan solusi pembangunan pertanian
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021