"Sebaiknya SBY tidak mengutak-atik Sultan melalui proses perundangan, sekalipun sebagai pemerintah punya hak legislasi, karena dampaknya akan memukul balik SBY melalui gelombang emosional warga Yogyakarta," katanya di Jakarta, Rabu.
Apalagi, lanjut pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam di Malang dan Depok itu, jika wacana referendum di Yogyakarta semakin meluas.
"Kalau sampai referendum berjalan terus, akan berdampak luas terhadap keselamatan republik," kata Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) tersebut.
Menurut Hasyim, sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta sebaiknya dibiarkan tetap seperti sekarang sebagai wujud keistimewaan daerah itu.
Ia menyatakan, tidak menjadi masalah jika Gubernur Yogyakarta bukan hasil pemilihan umum, dan hal itu juga tidak lantas berarti di Yogyakarta berlaku sistem monarki.
"Bukan hanya faktor historis dan jasa Kesultanan Yogyakarta kepada RI, tapi fakta yang ada bahwa Sultan memerintah DIY bersama DPRD yang dipilih langsung rakyat dan bersama-sama bertanggung jawab ke pemerintahan pusat, dimana monarkinya?," katanya.
Persoalan menyangkut keistimewaan Yogyakarta kembali mencuat setelah Presiden Yudhoyono dalam rapat kabinet pada 26 November 2010 menyatakan tidak boleh ada sistem monarki di Indonesia karena bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi.
Sultan pun mempertanyakan pernyataan Presiden tersebut karena ia merasa sistem pemerintahan yang dijalankan Provinsi Yogyakarta sama dengan yang dijalankan provinsi lain.
Mendagri Gamawan Fauzi di Jakarta, Rabu, menyatakan pernyataan Presiden telah ditangkap secara salah oleh sejumlah kalangan.
"Saat itu Presiden hanya memberi pengantar soal tiga aspek yang harus diperhatikan dalam pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta, yakni monarki, nilai demokrasi, dan konstitusi," katanya. (T.S024/H002)
Pewarta:
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2010