Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Hukum Bisnis Transnasional Universitas Indonesia (UI) Profesor Achmad Zen Umar Purba Hak mengatakan bahwa hak paten yang merupakan hak eksklusif bagi pemegang atas merek atau produk tidak bisa disamakan dengan monopoli.
Saat berbicara dalam acara Kajian Akademis terhadap keputusan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica yang divonis melakukan kartel di Jakarta, Selasa, dia mengatakan hak eksklusif adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi pemegangnya, namun hak eksklusif tidak bisa disamakan dengan monopoli
"Dalam masa berlakunya suatu paten, apakah tindakan para pengusaha yang diperbolehkan oleh UU Paten dapat dinyatakan melanggar UU No 5 Tahun 1999? Padahal dalam UU tersebut dengan jelas disebutkan bahwa hal itu dikecualikan. Nah kejadian ini yang menimpa dua perusahaan farmasi, yakni Pfiezer dan Dexa," kata Achmad Zen.
Dalam pemberitaan sebelumnya Pfizer dan Dexa oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) divonis melakukan praktek kartel obat kelas amlodipine.
Kedua perusahaan ini terbukti melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, dan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 Tahun 1999. Atas putusan tersebut seluruh perusahaan Pfizer dihukum membayar denda Rp25 miliar.
Mantan Dirjen HaKI ini menjelaskan bahwa dalam Pasal 16 ayat 1 UU Paten disebutkan, pemegang paten dapat membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk menjual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten.
"Karena sifat paten sebagai hak eksklusif, maka selama masa perlindungan secara esensial merupakan hak monopolistik. Itu sebabnya pemberlakuan sesuatu ikatan hukum yang berkaitan dengan hak ini dalam UU No 5 Tahun 1999 harus dikecualikan," ucapnya.
Lantas apakah kegiatan usaha yang dilakukan pada masa paten dapat dianggap sama dengan tindakan yang dilakukan setelah paten berakhir? Menurut Achmad Zen, secara hukum pemegang paten dapat menjadikannya obyek dalam perjanjian. Itu berarti hanya bisa dilaksanakan selama masa perlindungan.
"Setelah masa paten habis, invensi itu masuk ke dalam domain publik, siapa saja bebas menggunakannya," katanya.
Dari kajian UU Paten, terang Achmad Zen, ada salah persepsi dari KPPU dalam pemberlakuan UU 5 Tahun 1999, sehingga perlu ditinjau lagi keputusannya.
Tentang tuduhan kartel ini, Pakar Statistik UI Anton Hendranata mengatakan KPPU hanya menganalisis dua jenis obat , mestinya tidak ada jenis obat hipertensi lain. "Kenyataannya di lapangan ada 85 jenis." kata Anton.
Menurut dia, dalam persoalan paten norvask dan tensivask KPPU tidak membedakan periode hak paten dan setelah periode hak paten (2000-awal 2010). Dalam paten, lanjutnya, ada hak ekslusif yang dimiliki, jadi perilaku datanya kemungkinan besar akan berbeda dengan periode data yang tidak memiliki hak paten.
"Kalau analisisnya digabung, ini menimbulkan bias," tambahnya. Secara statistika periode hak paten memiliki distribusi sendiri, pasca hak paten juga memiliki distribusi sendiri yang perilaku/tren dan fluktuasinya berbeda dan penggabungan keduanya mengakibatkan hilangnya karakteristik populasi data.
"Jika ini terjadi metode statistik apapun yang dipakai, walaupun canggih dan tepat tidak ada manfaatnya. Karena kesimpulannya pasti tidak valid," katanya.
Anton juga menyebut adanya "cleaning data (observasi dibuang)" yang indikasinya pada data IMS 2009 jumlah obat hipertensi golongan CCB sekitar 85 jenis dari 45 perusahaan, namun KPPU hanya menganalisis 2 jenis merk yang artinya data-data yang lain diabaikan.
"Hasil analisis statistik membuktikan adanya `error` yang telah dilakukan KPPU dalam keputusannya. Agregasi data yang salah mengakibatkan data yang dihasilkannya pun salah," ujarnya.
Seharusnya, KPPU juga memasukkan data yang lain sehingga bisa menggambarkan populasi yang sesungguhnya. Karenanya, dirinya menilai pengaturan yang dituduhkan sangat lemah validitasnya.
Sementara itu Prof Dr Ningrum Sirait pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan bahwa persoalan paten harus disikapi hati-hati. Diharapkan KPPU mampu membuat terobosan tanpa harus mematikan dunia usaha. (*)
(T.J008/S025)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010