Banda Aceh diminta agar menerapkan PPKM level 4
Banda Aceh (ANTARA) - Hingga detik ini, pandemi COVID-19 masih terus mengintai penduduk Tanah Air. Belum ada ahli yang bisa memprediksikan kapan wabah yang telah merenggut jutaan nyawa penduduk dunia itu akan sirna dari muka bumi.
Sejak awal kehadirannya pada Maret 2020, virus yang menyerang paru-paru manusia itu telah menginfeksi lebih dari 4 juta jiwa penduduk Indonesia.
Pemerintah pun telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menekan penyebarannya. Terakhir, pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam berbagai level, sesuai dengan tingkat risiko penularan dari setiap daerah di seluruh Indonesia.
PPKM dinilai efektif dalam menekan penambahan kasus baru COVID-19, sehingga sudah beberapa kali perpanjangan, yang langsung diumumkan oleh Presiden Joko Widodo.
Di Aceh, hingga Jumat (27/8), kasus COVID-19 secara akumulatif telah mencapai 31.777 orang. Di antaranya pasien yang sedang dirawat atau isolasi mandiri 6.786 orang, pasien sudah sembuh 23.606 orang, dan kasus meninggal dunia sebanyak 1.385 orang.
Memang, Aceh tengah mengalami peningkatan kasus positif yang signifikan akhir-akhir ini. Bahkan, penambahan kasus baru positif pernah mencapai 411 orang per harinya.
Apalagi kini di provinsi ujung barat Indonesia itu juga telah terdeteksi mutasi COVID-19 varian Delta. Varian yang dinilai memiliki tingkat penularan lebih cepat, sekaligus orang yang terinfeksi mengalami gejala berat.
Dinas Kesehatan Aceh mencatat ada 18 kasus COVID-19 varian Delta di Aceh. Varian ini terdeteksi dari hasil pemeriksaan whole genom sequencing (WGS) sampel yang dikirim ke Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI di Jakarta.
“Ada 18 kasus COVID-19 varian Delta di Aceh, tapi sampai sekarang kita belum tahu rinciannya dimana saja,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Aceh dr Iman Murahman di Banda Aceh, awal pekan.
Memang dalam beberapa waktu terakhir, Balai Litbangkes Aceh telah mengirim sampel usap (swab) dari beberapa kabupaten/kota ke Jakarta secara bergelombang, untuk dilakukan pemeriksaan whole genom sequencing.
Dari sampel-sampel itu, Balai Litbangkes mendapatkan hasil beberapa kasus mutasi COVID-19 varian Delta. Namun, pihaknya belum mendapatkan rincian peta sebaran varian baru tersebut di Aceh.
Menurut Iman, di Aceh memang sudah banyak terlihat warga yang mengalami gejala COVID-19 seperti terinfeksi varian Delta, terutama di wilayah ibukota Banda Aceh.
Bahkan, akhir-akhir ini terlihat gejala yang dialami warga cenderung lebih berat daripada sebelumnya, saat seseorang terinfeksi virus corona aslinya dari China.
Apalagi, lanjut dia, tingkat penularan varian Delta juga cukup tinggi, sehingga warga diminta terus tingkatkan kedisiplinan protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas (5M).
“Kita sebenarnya harus betul-betul waspada bahwa varian delta sudah ada di Aceh, dan tingkat penularan tinggi, sehingga kita harus lebih awas agar dapat melindungi diri,” katanya.
Kepala Balai Litbangkes Aceh Fahmi Ichwansyah mengatakan awalnya Kemenkes RI mendeteksi 11 kasus COVID-19 varian Delta di Aceh pada medio Agustus 2021, berdasarkan hasil pemeriksaan WGS.
Berselang beberapa hari, Kemenkes RI melaporkan kembali penambahan tujuh kasus COVID-19 varian Delta, sehingga totalnya sudah 18 kasus.
Balai Litbangkes Aceh mengirim sampel secara bergelombang untuk pemeriksaan WGS. Awalnya, kata Fahmi, pihaknya mengirim 23 sampel ke Jakarta, namun hasilnya belum ditemukan mutasi COVID-19 baik varian Alpha, Delta maupun Delta.
Selanjutnya, Balai Litbangkes Aceh kembali mengirim sebanyak 49 sampel ke Jakarta, namun dari total sampel, pihaknya baru menerima laporan hanya enam sampel, yang hasilnya juga belum terdeteksi varian baru COVID-19.
"Baru kita kirim lagi sampel awal Juli 2021 ke Jakarta, ada 123 sampel, jadi mungkin yang sekarang ini ditemukan (varian Delta) hasil dari sequencing awal Juli, itu kemungkinan," kata Fahmi.
Baca juga: Aceh Besar dan Banda Aceh paling banyak kasus sembuh dari COVID-19
Baca juga: Ratusan narapidana Lapas Lhokseumawe jalani vaksinasi COVID-19
Prokes dan Vaksinasi
Masyarakat Aceh diminta tidak perlu panik dalam menyikapi penyebaran COVID-19 varian Delta di Aceh. Masyarakat cukup menyikapinya dengan disiplin meningkatkan protokol kesehatan dan mengikuti vaksinasi.
"Protokol kesehatan dan penyuntikan dua dosis vaksinasi COVID-19 masih sangat efektif mencegah serangan infeksi varian Delta itu," kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Aceh Saifullah Abdulgani.
Memang, kata Saifullah, pihaknya belum mengetahui kabupaten/kota mana saja yang terdeteksi varian Delta. Kendati demikian, perkembangan kasus itu perlu segera diketahui masyarakat sebagai upaya mitigasi untuk meningkatkan kewaspadaan.
"Virus varian Delta diyakini memiliki daya tular berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan varian SARS-CoV-2, penyebab COVID-19," katanya.
Selain risiko penularan lebih cepat, varian Delta juga memicu simtomatik penyakit yang lebih berat dan risiko kematian yang lebih tinggi.
Menurut catatan organisasi kesehatan dunia (WHO), kata Saifullah, salah satu penyebab lonjakan kasus COVID-19 dan kematian global sepanjang Juli 2021 merupakan varian Delta, yang memang sudah tersebar lebih dari 132 negara.
"Masyarakat tidak perlu panik menyikapi penambahan varian delta di Aceh. Keganasan virus varian baru ini masih efektif diatasi dengan protokol kesehatan yang dikampanyekan selama ini dan dua dosis vaksinasi COVID-19," katanya.
Baca juga: Varian delta masuk Aceh, wali kota minta warga tingkatkan kewaspadaan
Baca juga: RSUDZA fungsikan ruang rawatan thalasemia rawat pasien COVID-19.
Optimalisasi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh meminta pemerintah kabupaten/kota untuk mengoptimalkan ruang perawatan di seluruh rumah sakit umum daerah (RSUD) dalam merawat pasien virus corona, tanpa harus merujuk ke rumah sakit utama di Banda Aceh.
“Kalau untuk kondisi Aceh seperti ini, yang paling dikeluhkan masyarakat adalah ketersediaan tempat rawatan. Maka kita harus mengoptimalisasi perawatan di setiap daerah, tidak perlu merujuk,” kata Ketua IDI Aceh dr Safrizal Rahman.
Hal itu dinilai penting di tengah kondisi pandemi di Aceh yang sudah sangat mengkhawatirkan, yakni kasus positif baru terus bertambah, pasien yang bergejala semakin banyak, dan bahkan juga telah terdeteksi kasus COVID-19 varian Delta.
Optimalisasi ruang rawatan sebagai upaya mengantisipasi penuhnya ruang rawatan COVID-19 setiap rumah sakit di ibukota, karena harus menampung pasien rujukan dari seluruh daerah Aceh, katanya.
IDI juga menyarankan agar Pemerintah Aceh membentuk tim ahli sebagai tempat konsultasi para medis dari seluruh RSUD di kabupaten/kota ketika mereka kesulitan saat menangani pasien infeksi corona.
“Kita harus buat daerah berani menangani pasien dengan status COVID-19. Kalau kesulitan dan perlu konsultasi maka silahkan gunakan tim ahli untuk berkonsultasi, bisa jarak jauh, melalui video call, sehingga tidak perlu merujuk pasien dari daerah itu,” katanya.
Tak hanya itu, IDI juga mengingatkan Pemerintah Aceh untuk mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk kondisi pandemi di Aceh.
"Pemerintah harus bersiap kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di Provinsi Aceh. Termasuk harus menyiapkan stok obat-obatan, oksigen, APD dan sebagainya," katanya.
Sebab itu IDI merekomendasikan agar Pemprov Aceh menyikapi peningkatan kasus dengan baik, terutama wilayah Kota Banda Aceh dan Aceh Besar yang sudah pada tingkat sangat mengkhawatirkan.
Dan peningkatan kasus terhadap kelompok anak di Aceh juga menunjukkan tren yang sangat tinggi, bahkan sampai memakan korban jiwa, katanya.
Orang tua juga diminta untuk memberi pelayanan maksimal terhadap anak agar tidak tertular dari COVID-19, termasuk dengan cara memberikan vaksinasi bagi anak yang telah berumur di atas 12 tahun.
"Kita mendorong masyarakat agar anaknya mau divaksinasi. Kita juga meminta masyarakat untuk terus disiplin menerapkan protokol kesehatan dan Satgas COVID-19 harus melakukan pengawasan dengan ketat," katanya.
IDI juga merekomendasi agar pemerintah untuk membuka layanan kontak pelacakan (tracing) berbasis tes swab (usap) PCR untuk mendapati kasus-kasus baru. Tidak hanya bagi mereka yang bergejala, tetapi juga mereka yang tidak bergejala.
"Kalau ada aturan satu orang positif maka kita harus melakukan tracing minimal 10 orang, maka ini adalah solusi untuk melakukan hal tersebut," katanya.
Sekaligus, IDI meminta agar penerapan PPKM level 4 di Banda Aceh sebagai ibukota harus diikuti dengan penegakan yang ketat dan komprehensif.
"Banda Aceh diminta agar menerapkan PPKM level 4, maka penetapan ini salah satu cara yang tepat dalam upaya menurunkan kasus, sehingga harus diikuti dengan penegakan yang disiplin," katanya.
Aceh sedang mengalami peningkatan kasus baru COVID-19 secara signifikan. Tidak hanya pada kelompok orang dewasa, tetapi infeksi virus corona juga terus menyasar kelompok anak.
Karena itu, melaksanakan vaksinasi dan menerapkan protokol kesehatan menjadi upaya penting mencegah penyebaran virus corona.
Baca juga: IDI ingatkan kemungkinan terburuk pandemi di Aceh
Baca juga: IDI: Idealnya 70 persen warga Aceh divaksinasi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021