Kairo (ANTARA News) - Sungguh malang nasib Presiden Sudan Jenderal Omar Hassan Bashir, sudah menghadapi kerumitan masalah perang saudara dan referendum, tapi juga diincar akan diseret ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court/ICC) atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

Dia dituduh sebagai dalang genosida selama tujuh tahun konflik bersenjata di wilayah Darfur, Sudan barat yang hingga kini menjadi sorotan masyarakat dunia.

Sosoknya Bashir kembali menjadi sorotan internasional karena dia bertekad untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Uni Afrika-Uni Eropa di Libia pada Senin dan Selasa (29-30/11) kendati Uni Eropa bersikeras menolak kehadirannya.

Uni Eropa mendukung ICC yang bermarkas di Den Haag, Belanda, sementara Sudan mengesampingkan jurisdiksi mahkamah tersebut dan menolak bekerja sama dalam penyidikan dan penuntutan.

Tekad Bashir untuk menghadiri KTT di Libia itu dikemukakan oleh mantan presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki Sabtu (27/11) setelah ia menemui timpalannya tersebut pada Sabtu (27/11).

Mbeki menuturkan bahwa Bashir berniat menghadiri KTT Uni Afrika-Uni Eropa yang akan dilanjuti dengan KTT Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika.

Tekad kehadirannya itu karena Bashir memang termasuk di antara kepala negara yang diundang Presiden Libia Muammar Khadhafi selaku tuan rumah.

Namun belakangan tampaknya Presiden Khadhafi tak kuasa menghadapi takanan dari Uni Eropa sehingga tekad Bashir untuk menghadiri KTT itu pun batal.

Tak pelak lagi, Khartoum menyatakan kekecewaannya dan menyatakan boikot terhadap pertemuan puncak Uni Afrika-Eropa itu sebagai protes atas tekanan Uni Eropa.

"Sudan telah memutuskan untuk menarik diri dari KTT Afrika-Eropa di semua tingkat pejabat," kata juru bicara presiden Sudan dalam satu pernyataan yang disiarkan, Ahad

Dengan nada keras, Khartoum dalam pernyataan itu menggambarkan sikap penolakan EU terhadap kehadiran Bashir itu sebagai pengecut dan mencerminkan mentalitas kolonialisme dalam memandang Afrika.

Sikap Libia yang dinilai melunak terhadap tekanan Uni Eropa ini memang berbeda dengan Mesir yang pada tahun lalu sedianya menjadi tuan rumah KTT Afrika.

Presiden Mesir Hosni Mubarak ketika itu bersikeras untuk menghadirkan Bashir dalam pertemuan puncak yang dituanrumahinya.

Itulah sebabnya Mesir sempat bersitegang dengan Uni Eropa dan menolak tuntutan mereka menyangkut kehadiran Bashir tersebut.

Akibat tekanan hebat dari Uni Eropa, akhirnya KTT itu pun batal dilaksanakan di Mesir dan terpaksa dipindahkan ke Prancis.

Hubungan Khartoum dan Tripoli sebelumnya sempat tegang saat Libia bersedia menampung pemimpin gerilyawan Darfur, Khalil Ibrahim -- musuh bebuyutan pemerintah Sudan.

Namun ketegangan itu kembali pulih setelah para pejabat kedua negara saling mengunjungi disusul dengan undangan KTT oleh Presiden Khadafi kepada Bashir.

Pro kontra
Sikap pro dan kontra tak pelak lagi merebak setelah Ketua Jaksa ICC Luis Moreno-Ocampo pada 14 Juli 2008 mengeluarkan surat perintah penangkapakan terhadap Bashir.

Amerika Serikat dan Uni Eropa yang selama ini bermusuhan dengan Sudan mengamini putusan ICC.

Washington bahwa mendesak agar Presiden Bashir segera memenuhi perintah ICC.

Reaksi penolakan keras datang dari negara-negara Arab dan Afrika kendati tercatat sebagai anggota ICC.

Segera setelah surat penangkapan ICC dikeluarkan, para Menteri Luar Negeri Liga Arab pada 20 Juli 2008 melakukan pertemuan darurat di Markas Besar Liga Arab di Kairo yang secara khusus membahas masalah tersebut.

Para Menlu dari 22 negara anggota Liga Arab itu secara tegas menolak penuntutan terhadap Bashir dan mengecam keras tuduhan ICC terhadap Presiden Bashir.

Para Menlu itu mengatakan langkah ICC tersebut melanggar kedaulatan Sudan, dan menegaskan bahwa hanya pengadilan Sudan memiliki hak mengenai masalah hukum di negara tersebut.

"Liga Arab menolak upaya apapun untuk mempolitisasi prinsip-prinsip peradilan internasional," kata Menteri Luar Negeri Mesir Ahmad Aboul Gheit, dan menegaskan solidaritas bangsa Arab terhadap Sudan untuk melindungi kedaulatan, kesatuan, keamanan dan stabilitas negara itu.

Kesepakatan para Menlu di Kairo tersebut dikuatkan dalam KTT Liga Arab di Doha, Qatar, pada Maret tahun lalu.

Dalam komunike bersama yang dibacakan Sekjen Liga Arab Amr Moussa dengan tegas menyebutkan bahwa Liga Arab menekankan solidaritas terhadap Sudan dan menolak putusan ICC.

Moussa berpendapat, keputusan untuk menangkap Bashir bertujuan untuk merusak persatuan dan kestabilan Sudan.

Selain Liga Arab, para kepala negara Afrika dalam KTT Uni Afrika tahun lalu juga sepakat untuk tidak bekerja sama dengan ICC soal penangkapan Bashir.

Mengabaikan
Beberapa negara anggota ICC telah nyata-nyata mengabaikan penuntutan ICC terhadap Bashir itu.

Kenya dan Chad, misalnya, meskipun menjadi anggota ICC, tapi mengabaikan peritah ICC saat Bashir mengunjungi negara mereka dengan sambutan hangat.

Ketua kebijakan luar negeri Uni Eropa (UE) Catherine Ashton, Agustus, mendesak Kenya menahan Bashir saat mengunjungi Nairobi dan menyerahkan dia kepada ICC untuk menghadapi tuntutan pemusnahan suku bangsa.

Kendati Kenya sebagai penandatangan perjanjian pembentukan ICC -- yang secara teknis berkewajiban bekerja sama dengan pengadilan itu dan menahan al-Bashir -- negara itu tidak melakukan tindakan tersebut.

Direktur Program Kehakiman Internasional bagi Pengawasan HAM Richard Dicker memuji sikap kedua negara Afrika yang menyambut hangat lawatan Bashir tersebut.

Ia berpendapat, putusan pengadilan itu benar-benar menimbulkan guncangan.

Menurut Dicker, tindakan mahkamah itu pada dasarnya memasang poster bertulisan "Dicari" bagi Bashir sehingga akan menodai dan menandai bahwa dia sebagai orang yang dituduh melakukan kejahatan paling mengerikan.

Ia juga berpendapat bahwa perintah itu adalah penghinaan terhadap keadilan, dan menunjukkan bahwa hanya ada keadilan di Amerika-Eropa, yang sebenarnya mengakibatkan kehancuran di Afghanistan, Irak dan Jalur Gaza.

"Panel itu sebagai pengadilan politik yang tak pantas mendapat penghormatan dari pihak Sudan, dan dijadikan senjata untuk merusak kestabilan serta alat bagi hegemoni dan pemerasan,` ujarnya.

Dubes Sudan untuk PBB, Abdulmahmood Abdulhaleem Mohamad, berpendapat surat perintah penangkapan terhadap Al-Bashir tersebut adalah bagian dari persekongkolan.

"Putusan ICC itu sesungguhnya dirancang oleh aliansi yang tak berperasaan, yaitu Inggris, Prancis dan AS dengan melibatkan organisasi hak asasi manusia dan pengangguran yang menggunakan airmata buaya dan dusta sebagai senjata pemusnah massal," kata Dubes Abdulhalim.

Di sisi lain, Presiden Bashir juga diliputi kecemacan adanya refendum yang dijadwalkan berlangsung pada 9 Januari nanti.

Para pengulas politik memperkirakan referendum itu kemungkinan besar dimenangkan oleh kelompok separatis di Sudan selatan yang telah lama berjuang memisahkan diri dari Sudan utara.
(M043/H-AK)

Pewarta: Munawar Saman Makyanie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010