"Belum ada dasar regulasi untuk mengenakan pemungutan atas emisi karbon sebagai salah satu instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca sehingga diperlukan ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon," kata Hestu dalam diskusi daring Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Jakarta, Jumat.
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) Pasal 44G, pemerintah menyebutkan bahwa pajak karbon merupakan suatu pajak yang dikenakan atas emisi karbon dioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil.
Subjek pajak karbon ialah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau menghasilkan emisi karbon.
Baca juga: Ekonom: Potensi pendapatan pajak karbon capai Rp57 triliun
"Sementara objek pajak-nya adalah emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup," kata Hestu.
Pemerintah berencana mengenakan tarif sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan uang setara. Tarif pajak karbon ini dihitung berdasarkan harga perdagangan karbon dari kegiatan Result Based Payment REDD + atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Tahun 2020.
Nantinya, saat terutang pajak karbon ialah saat pembelian, atau akhir periode tertenru dari aktivitaa menghasilkan emisi karbon, atau saat lain.
"Pengaturan lebih lanjut mengenai tarif dan penambahan objek pajak karbon diatur dengan Peraturan Pemerintah," imbuh Hestu.
Baca juga: Pengamat pajak sebut pemerintah mesti buat UU pajak karbon tersendiri
Baca juga: Peneliti: Rencana pemungutan pajak karbon harus libatkan dunia usaha
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2021