Jakarta (ANTARA News) - Rivalitas akbar di dunia sepak bola bermerk "El Clasico Edisi 161" memanggungkan alur drama kata-kata dari para pelakonnya. Sama-sama berasal dari negeri Matador, baik Real Madrid maupun seteru lawasnya Barcelona sama-sama menjauhi mitos "madu di mulut, racun di hati".
Mulut mengucapkan kata-kata, sementara hati mengisi kata-kata agar berterima bagi nurani. Dan arena Camp Nou bergelora pada Senin atau Selasa (30/11) dini hari WIB.
Anatominya, Real Madrid memuncaki klasemen sementara La Liga dengan menggondol 32 poin, mengungguli seteru lawasnya Barcelona yang menggaet 31 poin. Seru!
Aroma rivalitas mulai semerbak. Dua raksasa sepak bola Spanyol dan dua bintang saling mengejar untuk mencapai garis finish mengenai "siapa yang terbanyak" mencetak gol ke gawang lawan. Berbekal 14 gol, Cristiano Ronaldo (Real Madrid) berlomba bersama Lionel Messi (Barcelona) yang telah melesakkan 13 gol. Ini bukan legenda kata-kata, tetapi karya nyata.
Kehebatan duel dan kedigdayaan pemain bintang menerbitkan sejumlah tuah karakter sejati. Jauh dari fabel, jauh pula dari cerita isapan jempol.
Pelakon megaduel bertajuk "el clasico" menjauhi karakter dalam mitologi populer Amerika, Coyote yang mewakili ciri sebagai penipu, pendusta, ahli sulap licik dan penjahat ulung. El clasico dapat dikisahkah di mana pun dan kapan pun.
Memori pendukung Barcelona tersiram mitos bara dendam. Barcelonistas mengendapkan dukacita mendalam ketika tim kesayangannya didepak Inter Milan di semifinal Liga Champions musim lalu. Inter Milan saat itu dilatih Jose Mourinho. Dan "The Special One" kini justru bercokol di kubu Real Madrid. Lengkap sudah masa lalu sarat kesumat.
Mourinho pernah berdedikasi di Camp Nou sebagai penerjemah dari pelatih Bobby Robson dan asisten pelatih Louis van Gaal. Mou tahu betul tuah dari kata-kata bakal mengisahkan sejarah. Ia memanfaatkan masa lalu dan memahami makna bahwa sepak bola adalah legenda dan dongeng berisi kisah para pahlawan dan para bintang.
Saat itu, Mou mengakhiri perjuangan Barca 3-1 di San Siro pada leg pertama. Kemudian di leg kedua, Barca dibuat kalang kabut sehingga hanya mampu menang 1-0 lewat gol yang diciptakan Gerrad Pique. Wow...begitu pertandingan di Camp Nou usai, Mou langsung berlari ke lapangan dan menumpahkan euphoria. Kontan, suporter Barcelona menganggapnya sebagai cibiran.
Kalau mitos memiliki kata kunci "bagaimana", maka Mou mengetahui betul kiat mengartikulasikan mitos di laga "el clasico". Mitos menceritakan bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni, bagaimana situasi yang kacau menjadi teratur, bagaimana manusia yang sepasang menjadi beraneka ragam suku dan bangsa. Mitos menjadikan manusia menemukan siapa dirinya.
Siapa diri mereka sebenarnya? Jawabanya, "starting XI for the "clasico". Real Madrid punya kuartet berisi Cristiano Ronaldo, Higuain, Mesut Ozil dan Angel di Maria; sementara Barca punya empat tombak yakni Lionel Messi, David Villa, Pedro dan Andres Iniesta. Kedua tim sama-sama menghidupi sepak bola ofensif, bukan defensif. Inilah mitos sejati dari "El Clasico".
Ada spekulasi bahwa pelatih asal Portugal itu akan menyimpan playmaker Ozil dan menurunkan gelandang bertahan untuk membendung penguasaan bola Barca. Cepat-cepat Mou menampik dengan buru-buru menegaskan bahwa tidak ada perubahan taktik.
"Kami tidak akan mengubah pola apa pun ketika menghadapi Barcelona," katanya dalam jumpa pers di Madrid. "Barcelona telah bersinar di La Liga dibandingkan dengan tim-tim lain, meski kami menaruh hormat kepada semua tim."
Penyerang Los Blancos, Cristiano Ronaldo, menilai penampilan timnya pada musim ini kian kinclong dibandingkan musim lalu.
Los Merengues belum terkalahkan baik di ajang Liga BBVA maupun di Liga Champions. "Kepercayaan diri dalam tim tampak besar saat ini. Dan itu menjadi alasan mengapa kami akan menang. Kami tampil sangat baik. Aku percaya kami bisa menuai hasil bagus di Camp Nou," tukas mantan penyerang Manchester United itu.
Kubu Los Galacticos yang diwakili Mourinho dan Cristiano Ronaldo mengetahui fungsi mitos, yang bukan melulu mengisahkan kejadian masa lampau, dan bukan semata mengekspresikan fantasi-fantasi milik masyarakat. Mitos "madu di mulut, racun di hati" telah didekonstruksi oleh pasukan El Real. Masa lampau layak diulangi, tetapi tidak jaya dirayakan dalam laga kehidupan.
Kosok balik, kapten Arsenal, Cesc Fabregas, justru menjagokan Blaugrana karena bercokol Lionel Messi. "Messi adalah fenomena. Dia seperti banteng yang tidak pernah terluka. Dia melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain. Dia juga mencetak banyak gol," jelas Fabregas.
Tintas emas statistik tertoreh bahwa, Barca lebih banyak menuai kemenangan dibandingkan dengan Madrid dalam "El Clasico". Barca telah mengoleksi 16 kemenangan dalam 34 laga terakhir.
Sedangkan Madrid hanya beroleh sembilan kali menundukkan Barca dan sisanya seri. Dua pertemuan terakhir, pasukan Azulgrana di bawah Josep Guardiola berhasil membungkam seteru abadinya itu.
Pep Guardiola menyatakan, "Mereka tahu betul bahwa kami akan tampil dengan menyajikan sejumlah kejutan. Dan Messi sungguh mencintai laga ini." Komentarnya tidak sebatas kepada pemain depan Argentina itu, ia bahkan membuka kartu strateginya. "Kami akan bermain cepat dan lugas," katanya pula.
Baik Pep maupun Mou sama-sama tidak ingin berkubang dalam mitos "madu di mulut, racun di hati".
Pep yang terkesan otoriter, Mou yang terkesan suka memprovokasi lawan, sama-sama mengamini bahwa mitos menjawab pertanyaan mengapa setiap laga wajib dimenangkan apa pun bayarannya, apa yang terjadi ketika Dunia bola berada tanpa keriuhan dan kebencian, dan apa yang terjadi kalau bumi terpisah dari surga bernama sepak bola.
(A024/ART)
Pewarta: A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010