Khartoum (ANTARA News/AFP) - Penengah utama PBB-Uni Afrika untuk Darfur Djibril Bassole mengatakan, Minggu, ia setuju memberi gerilyawan lebih banyak waktu untuk mencapai perjanjian yang mengakhiri perang saudara di wilayah Sudan barat itu.
Bassole menyampaikan pernyataan itu dalam wawancara dengan AFP ketika ia memulai lawatan empat hari ke Darfur untuk mengumpulkan pandangan dan dukungan masyarakat sipil bagi sebuah perjanjian perdamaian yang akan datang.
Ia didampingi oleh Menteri Luar Negeri Qatar Ahmad bin Abdullah al-Mahmud, yang negaranya menjadi tuan rumah perundingan selama berbulan-bulan antara pemerintah Khartoum dan kelompok-kelompok gerilya Darfur.
"Kami telah memasuki tahap final yang diperlukan untuk mencapai sebuah perjanjian perdamaian global, jika disepakati sebuah dokumen, karena saya tidak tahu apakah kami akan menyebutnya sebuah perjanjian," kata Bassole.
Perundingan untuk mencapai perjanjian menyeluruh menjadi rumit karena di Darfur ada tiga kelompok utama yang memiliki tuntutan-tuntutan yang berbeda.
Gerakan Kebebasan dan Keadilan (LJM), yang merupakan gabungan dari kelompok-kelompok sempalan, menandatangani sebuah kerangka perjanjian dengan Khartoum pada Maret yang menetapkan gencatan senjata. Kedua pihak memulai perundingan tidak langsung pada 7 Juni.
Namun, kelompok lebih besar Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) tidak mengambil bagian dalam perundingan itu, sementara kelompok Tentara Pembebasan Sudan (SLA) pimpinan Abdelwahid Nur yang tinggal di tempat pengasingan di Prancis menolak mengambil bagian dalam proses itu.
JEM menandatangani kerangka perjanjian Doha pada Februari yang dipuji oleh masyarakat internasional sebagai langkah utama untuk menciptakan perdamaian di Darfur, namun perundingan mengalami kesulitan dan batas waktu 15 Maret berakhir tanpa sebuah perjanjian.
"LJM berunding namun perjanjian itu bukan (secara eksklusif) untuk LJM," kata Bassole.
"Apa yang baik untuk mereka baik untuk Darfur dan kelompok-kelompok lain," katanya.
Bassole dan para penengah berharap mencapai sebuah perjanjian lebih luas yang akam mempetimbangkan pandangan-pandangan warga sipil yang terlantar akibat konflik itu dan pandangan JEM serta SLA.
PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.
Maju-mundur proses perdamaian antara kedua pihak berlangsung sejak tahun lalu.
Pemberontak utama Darfur mengadakan dua babak perundingan dengan para pejabat pemerintah Khartoum di Qatar pada Februari dan Mei 2009.
Pada Februari tahun lalu, Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menandatangani sebuah perjanjian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.
Pada Mei 2009, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.
Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.
Perundingan yang dituanrumahahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika.
Kegagalan perundingan telah mengarah pada peningkatan kekerasan akhir-akhir ini di Darfur.
Bentrokan-bentrokan di wilayah itu menewaskan 221 orang pada Juni, sebagian besar akibat pertikaian antara suku-suku Arab yang bersaing, kata misi penjaga perdamaian PBB dan Uni Afrika (UNAMID).
Pada Mei, hampir 600 orang tewas dalam pertempuran, menurut sebuah dokumen internal UNAMID. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010