Surabaya (ANTARA News) - Walau aktivitas Gunung Bromo yang berstatus Awas (level IV) cenderung meningkat, ditandai dengan kepulan asap hitam tebal, namun para wisatawan dalam dan luar negeri tetap datang ke gunung api berketinggian 2.329 mdpl tersebut.

Pejabat pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Minggu, menyatakan dalam sehari ini, (Minggu), masih terjadi kecenderungan adanya tekanan kuat berupa kepulan asap hitam tebal yang meningkat di Gunung Bromo.

Kepala Sidang Mitigasi Bencana Geologi PVMBG Gede Suantika mengatakan, hasil evaluasi PVMBG sejak 26-28 November, menunjukkan aktivitas Gunung Bromo meningkat dengan tingkat erupsi ekposis tipe minor atau letusan kecil.

"Itu ditandai dengan keluarnya kepulan asap hitam dengan tinggi 500-600 meter pada 26 November," katanya saat ditemui di Pos Pantau Gunung Bromo.

Sedangkan pada 27 November tekanan asap hitam tebal meningkat dibandingkan sehari sebelumnya dengan ketinggian mencapai 600-700 meter dari kawah gunung.

"Seharian kemarin (27/11) asap lebih mengepul, namun dampak berupa abu pasir masih jatuh ke kawah dan menuju ke arah barat daya (Kabupaten Malang)," ujarnya.

Untuk itu, lanjut dia, pihaknya mengimbau kepada warga yang tinggal di Kabupaten Malang mempersiapkan diri dengan menggunakan masker.

"Abu asap terus mengarah ke Malang. Ini harus diantisipasi oleh instansi terkait," katanya.

Pantaun ANTARA di lokasi kejadian menunjukkan kepulan asap hitam tebal mulai meningkat sejak Minggu (28/11) dini hari hingga pagi menjelang siang.

Namun demikian, cuaca di sekitar Gunung Bromo tampak cerah dengan langit terlihat berwara biru.

Dari Kabupaten pasuruan dilaporkan, ratusan wisatawan domestik dan mancanegara justru menyaksikan aktivitas Gunung Bromo dari Puncak Penanjakan, Wonokitri, Tosari.

Aktivitas Gunung Bromo yang bersatus Awas (level IV) dan belakangan meningkat, menarik wisatawan untuk menyaksikannya dari jarak dekat.

Wisatawan memilih Puncak Penanjakan di Wonokitri, Tosari, Pasuruan karena lokasinya aman. Sementara, jika melalui Probolinggo yang harus melewati laut pasir, jalannya kini ditutup total, dengan pertimbangan keamanan.

Puncak Penanjakan merupakan lokasi tertinggi untuk menyaksikan panorama Gunung Bromo, dan jika tidak terhalang kabut Gunung Semeru yang berada di kejauhan (belakang) juga terlihat jelas.

Yunianto, seorang staf Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Peberantasan Penyakit Menular (BBTKL-PPM) Kementerian Kesehatan yang melakukan pemantauan udara di sejumlah titik sekitar Gunung Bromo mengatakan, kualitas udara di Puncak Penanjakan cukup aman bagi wisatawan.

"Berdasarkan hasil lab, kualitas udara di Puncak Penanjakan masih di bawah batas ambang batas noimal," ucap Yunianto mengungkapkan.

Pasangan wisatawan mancanegara, Heinz dan Ivone dari Belanda mengaku sangat tertarik dengan keindahan panorama Gunung Bromo. Meski telah mengetahui bahwa Gunung Bromo yang belakangan ini meningkat aktivitasnya, mereka mengaku tidak takut.

Bahkan aktivitas Gunung Bromo yang sedang meningkat, justru menjadi tontonan yang sangat menarik untuk disaksikan dan diabadikan.

Sukarji, seorang tokoh masyarakat Desa Sedaeng mengatakan, wisatawan tidak perlu takut ke Bromo, lewat Pasuruan, karena masih aman dari dampak peningkatan aktivitas Gunung Bromo.

Sukarji menyayangkan munculnya pemberitaan, dan hiruk pikuk pejabat yang berlebihan, sehingga membuat wisatawan takut untuk mengunjungi ke Gunung Bromo.

Sukarji berharap pemerintah segera berkonsentrasi meningkatkan infrastuktur industri pariwisata di Gunung Bromo, seperti memperbaiki jalan antara Dingklik-laut pasir (kaldera) sepanjang 4 kilometer.

Padahal, lanjut Sukarji, jalan yang sudah rusak sekitar empat tahun itu selalu dilalui wisatawan yang datang dari arah Probolinggo, maupun Pasuruan.

Dia mengaku prihatin melihat kondisi infrastruktur wisata di Gunung Bromo yang telah mejadi ikon Jatim itu, kondisi jalannya tetap dibiarkan rusak.

Sukarji berharap pemerintah segera memperbaiki jalan yang telah rusak tersebut, agar warga suku Tengger di Gunung Bromo bisa melaksanakan ibadah, dan mengantarkan wisatawan dengan lancar.

Kondisi tersebut, membuat PVMBG meminta pihak Bandara Abdurahman Saleh, Malang untuk mengevaluasi kejernian udara akibat asap Gunung Bromo yang mulai mengarah ke Malang.

"Kami minta pihak bandara mengevaluasi kejernian udara agar tidak mengganggu penerbangan," kata Kepala bidang Mitigasi Bencana Geologi PVMBG, Gede Suantika saat ditemui di Pos Pantau Gunung Bromo, Ngadisari, Sukapura, Probolinggo.

Menurut dia, kepulan asap hitam tebal terjadi sejak tanggal 26-28 November 2010 dan terlihat mengarah ke barat daya, tepatnya Kabupaten Malang.

Bahkan informasi yang didapatkan PVMBG sejak Minggu dini hari, kepulan asap Gunung Bromo sudah masuk ke Bandara Abdurahman Saleh, Malang.

"Kami minta instansi berwenang menganalisa terkait kebersihan udara dan kandungan udara untuk keselamatan penerbangan," ucapnya menegaskan.

Jika tidak diantisipasi segera, lanjut dia maka dikhawatirkan bisa mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Pasalnya, rumah warga di Kabupaten Malang yang berdekatan dengan Gunung Bromo sudah diimbau untuk memakai masker.

Gede juga menjelaskan bahwa pada Minggu ini ada kecenderungan tekanan kepulan asap hitam tebal meningkat. Sampai pukul 00.00-06.00 WIB terjdi gemba vulkanik sebanyak 8 kali dengan amplitudonya naik 30-40 milimeter.

"Kegiatan erupsi meningkat sampai saat ini. Mudah-mudahan seperti ini terus terjadi, sehingga cepat menuju kestabilan," ujarnya berharap.

Masker

Ternak yang dimiliki warga di kawasan terdekat Gunung Bromo, tepatnya di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang mulai didata jumlah dan jenisnya.

Sekretaris Desa Ngadas Mudjianto menuturkan, pihaknya melalui rukun tetangga (RT) yang ada di desa itu sedang melakukan pendataan terhadap warga yang memiliki ternak.

"Data ini nanti akan kami serahkan kepada Gubernur Jatim Soekarwo, karena Pak Gubernur berjanji akan mengganti ternak warga jika terjadi musibah letusan Gunung Bromo, dan ternak milik warga itu menjadi korban," ucapnya menambahkan.

Menurut dia, jenis ternak yang dimiliki warga Desa Ngadas sebagian besar adalah sapi. Berdasarkan pendataan sebelumnya jumlahnya mencapai 150 ekor.

Selain melakukan pendataan terhadap ternak warga, katanya, pihaknya juga secara intensif mengimbau kepada warga agar selalu mengenakan masker ketika beraktivitas di luar rumah, termasuk siswa sekolah.

Sebelumnya, Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat telah memberi masker secara gratis kepada warga di Kecamatan Poncokusumo sebanyak 2.000 buah, mengirimkan empat orang tenaga medis, tenda, 4.000 kantong mayat, dan kendaraan evakuasi dan dapur umum.

Pemkab Malang sudah menyiapkan dua kawasan sebagai lokasi pengungsian bagi penduduk Desa Ngadas dan Desa Jarak Ijo yang jumlahnya mencapai 1.781 jiwa itu, yakni di "rest area" (tempat peristirahatan) Desa Gubuk Klakah (sekitar 10 km) dan Desa Wringin Anom sekitar 13 km dari Desa Ngadas.

Meski jarak kedua desa tersebut cukup dekat dengan Gunung Bromo, bahkan masuk kawasan rawan bencana I karena berjarak sekitar 3 Km dari Bromo, masyarakat didua desa itu belum merasa terganggu dengan asap dan abu vulkanik, sehingga masih tetap beraktivitas seperti biasa.

Asap dan abu vulkanik Gunung Bromo yang saat ini berstatus "Awas" itu terlihat jelas oleh warga di Desa Ngadas dan Jarak Ijo, namun belum sampai mengganggu kehidupan warga karena asap dan abu vulkanik tersebut bergerak ke arah hutan, bukan ke permukiman penduduk.

Sementara itu, dari Kabupaten Lumajang, Pemkab setempat menyiapkan ribuan masker untuk mengantisipasi abu vulkanik letusan Gunung Bromo.

Sekretaris Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Lumajang, Rochani menjelaskan, pihaknya menyiapkan sebanyak 5.000 masker untuk mengantisipasi abu vulkanik yang kemungkinan mengarah ke Kabupaten Lumajang.

"Kami sudah mendistribusikan sebanyak seribu masker di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Desa Argosari yang merupakan pemukiman Suku Tengger yang dekat dengan Gunung Bromo," paparnya.

Menurut dia, stok masker yang tersedia di Dinas Kesehatan (Dinkes) Lumajang sebanyak 10.000 masker untuk mengantisipasi abu vulkanik, baik Gunung Bromo maupun Gunung Semeru.

"Kami menyiapkan ribuan masker untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama aktivitas gunung api di sekitar Lumajang meningkat. Kabupaten Lumajang dikelilingi tiga gunung api, yakni Gunung Semeru (3.676 mpdl), Bromo dan Lamongan," terangnya.

"Kabupaten Lumajang masih aman dari letusan Gunung Bromo, namun Satlak Penanggulangan Bencana Lumajang siaga 24 jam untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan," tuturnya menjelaskan.

Menurut dia, aktivitas warga Suku Tengger di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang tidak terganggu dengan erupsi Gunung Bromo yang terjadi beberapa kali.

"Warga masih melakukan aktivitas bekerja di kebun dan ladang seperti biasanya, bahkan erupsi Gunung Bromo tidak mengusik ketenangan warga setempat," ucap Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Lumajang itu.

Pejabat sementara (Pjs) Kepala Desa Argosari, Martiam, mengatakan, suku Tengger yang berada di sekitar lereng Gunung Bromo sudah terbiasa dengan aktivitas gunung api tersebut.

"Warga tidak panik dan cukup tenang, bahkan mereka masih bekerja seperti biasanya," tutur Martiam yang juga Suku Tengger itu.

Nekat

Sejumlah warga di sekitar Gunung Bromo yakni Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jatim, terlihat nekat melewati lautan pasir (kaldera) di lereng gunung dengan menggunakan sepeda motor, meski telah dilarang petugas.

Pantauan ANTARA di lereng Gunung Bromo tepatnya di Cemorolawang, tampak dari arah kejauhan sejumlah warga Ngadisari menggunakan sepeda motor melewati lautan pasir yang jaraknya 1-2 kilometer dari kawah Bromo.

Padahal, pihak keamanan telah melarang warga setempat mendekati kawah Bromo minimal 3 kilometer, mengingat status Bromo saat ini adalah Awas dan secara visual terlihat mengeluarkan semburan asap hitam tebal.

"Namun, tidak semua warga mengindahkan peringatan dini itu. Kalau itu sudah rutin setiap lima tahun sekali. Jadi, kami tidak khawatir soal itu," kata Sriyati, warga setempat mengungkapkan.

Menurut dia, jalur yang paling cepat menuju Kabupaten Malang adalah melewati lautan pasir (kaldera). Hal itu sudah biasa dilakukan warga sejak dulu.

Sebelumnya, Kepolisian Resor (Polres) Probolinggo mengoptimalkan sosialisasi kepada warga yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, terkait status awas gunung api tersebut.

"Masih ada penduduk di sini yang tinggal dekat dari gunung. Ini yang menjadi prioritas kami untuk terus melakukan sosialisasi," ujar Kapolres Probolinggo AKBP Zulfikar Tarius.

Menurut Zulfikar, penduduk sekitar Gunung Bromo hingga saat ini masih menganggap bahwa keluarnya asap hitam tebal dari kawah gunung merupakan hal biasa karena setiap tahun terjadi.

Untuk itu, lanjut dia, petugas kepolisian bekerja sama dengan TNI terus melakukan sosialisasi kepada warga setempat.

"Biasanya sosialisasi kami lakukan pada malam hari. Kalau pagi sampai sore, mereka bekerja," paparnya.

Menyikati "ulah" Bromo itu, warga suku Tengger dari Tosari, Pasuruan, Minggu pukul 00.00 WIB, justru melaksanakan labuh sesaji ke kawah Gunung Bromo yang tengah aktif dan masih dinyatakan berstatus Awas.

Ritual yang diikuti sekitar 300 orang dari Desa Sedaeng, Wonokitri dan Tosari itu, dipimpin Dukun Adat Sukaryono, Supayadi dan Kadik.

Sebelumnya, ritual diawali dengan persembahyangan di Pura Luhur Poten Laut Pasir (kaldera) Gunung Bromo yang dipimpin Mangku Parwoto.

Tepat pukul 00.00 dinihari sesaji berupa kambing kendit, bebek, serta palawija dilabuh ke kawah Gunung Bromo yang masih berstatus Awas. Mereka yang terlibat tidak hanya kaum bapak, ibu dan remaja, tetapi juga anak-anak.

Ritual labuh sesaji yang dilaksanakan warga suku Tengger Brang Kulon (sisi barat) sempat dihalang-halangi sejumlah anggota polisi dari Polres Probolinggo yang dipimpin langsung Wakapolres Probolinggo Kompol Budi.

Kompol Budi melarang warga dari Pasuruan melakukan ritual di kawah Gunung Bromo yang masih berstatus Awas itu.

Namun, Ny Sumini Jais yang mengalami "trans" (kemasukan roh) Roro Anteng mengatakan, labuh sesaji bukan kehendak warga, tapi permintaan dari Ki Bromo dan Joko Seger.

Jika permintaan tersebut tidak dilaksanakan, maka Gunung Bromo akan meminta tumbal (korban) sebanyak 25 orang.

Dukun Adat Suku Tengger dari Desa Sedaeng, Sukaryono menjelaskan, ritual labuh sesaji dilaksanakan atas dasar pesan "Roro Anteng" lewat Ny Sumini Jais yang mengalami kesurupan.

Dalam pesannya disebutkan, kata Sukaryono, Ki Bromo dan Joko Seger meminta sesaji berupa kambing kendit, bebek, serta palawija.

"Jadi, kami melaksanakan labuh sesaji ini bukan kehendak warga suku Tenger semata, tapi untuk melaksanakan permintaan Ki Bromo dan Joko Seger," kilah Sukaryono.

Sukaryono menegaskan, upacara ritual labuh sesaji dilaksanakan bukan untuk kepentingan warga suku Tengger di Pasuruan saja, tapi juga demi keselamatan bagi semua warga suku Tengger di Probolinggo, Malang, dan Lumajang.

Selama ritual labuh sesaji berlangsung kawah Gunung Bromo terus mengeluarkan asap hitam. Namun, ritual yang sempat menegangkan aparat struktural itu akhirnya tuntas sekitar pukul 01.00 dinihari dengan selamat. (*)

KR-MSW*A052*E009*/C004/S019

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010