Jakarta (ANTARA) - Manajemen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Jakarta Propertindo (Perseroda) atau Jakpro menegaskan 26 kafe tak berizin yang ditertibkan petugas Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Utara, tidak masuk program ganti untung atau "Resettlement Action Plan" (RAP) terkait pembangunan Jakarta International Stadium (JIS).
"Jakpro menindaklanjuti hasil rekomendasi aparatur kewilayahan Jakarta Utara dan sesuai regulasi yang berlaku, maka 26 kafe yang berlokasi di Kampung Bayam tidak masuk program RAP," kata Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan Jakpro, Nadia Diposanjoyo melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis malam.
Nadia menjelaskan JIS merupakan proyek strategis daerah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang dikerjakan Jakpro untuk menggarap mega proyek "Stadion Kita" yang merupakan "rumah" bagi klub sepak bola.
Nadia menuturkan Jakpro berkomitmen berpegang pada prinsip keadilan sosial, kolaborasi serta pelibatan aktif masyarakat dalam proyek stadion berstandar FIFA itu termasuk warga Kampung Bayam, Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Nadia mengungkapkan Jakpro juga mengedepankan dialog dan musyawarah dengan warga pada setiap keputusan. Hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan masyarakat terdampak yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Dalam proses pembangunan JIS tidak boleh ada kerugian warga. Atas pertimbangan itu pula, Jakpro menerapkan program RAP," ujar Nadia.
Agar program RAP tepat sasaran, transparan, dan akuntabel, Nadia mengatakan Jakpro melibatkan pihak independen dan kredibel, yakni PT Deira Sygisindo dan KJPP Anas Karim Rivai dan rekan.
Baca juga: Jakpro tuntaskan tahap akhir ganti untung bagi 624 KK di Kampung Bayam
Kedua lembaga konsultan itu berperan menjalankan tata cara pelaksanaan program yang adil dan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hasil studi PT Deira Sygisindo dan KJPP Anas Karim Rivai dan rekan menyimpulkan 26 kafe yang berada di Kampung Bayam tidak dapat dikategorikan sebagai penerima program RAP.
Nadia menyampaikan alasan karena praktek usaha kafe tersebut ilegal serta tergolong bidang usaha yang dilarang oleh Pemerintah Provinsi DKI karena aparatur kewilayahan Jakarta Utara menemukan indikasi kafe tersebut menjual minuman keras (miras) hingga adanya praktek prostitusi.
"Seiring berjalannya waktu, kafe-kafe tersebut menuntut juga ganti untung kepada Jakpro. Padahal, selain berkomunikasi dan berdialog dengan warga Kampung Bayam secara intensif, Jakpro pun aktif berkoordinasi dengan struktur kewilayahan setempat yakni Walikota Jakarta Utara, Kecamatan Tanjung Priok, hingga Kelurahan Papanggo," ungkap Nadia.
Sesuai masukan dari aparatur kewilayahan terutama pihak kelurahan dan kecamatan, Nadia menyebutkan Jakpro memutuskan tidak memasukkan 26 kafe tersebut dalam program RAP Kampung Bayam.
Baca juga: Pemkot Jakut ratakan bangunan liar di Kampung Bayam dengan alat berat
Secara regulasi, keputusan tidak memasukkan 26 kafe ke dalam RAP Kampung Bayam ini sangat tepat dan dapat dipertanggungjawabkan karena para pemilik kafe itu bukan merupakan warga Kampung Bayam.
Diungkapkan Nadia, jika pemilik kafe mendapatkan biaya ganti untung maka Jakpro yang melanggar undang-undang.
"Dengan demikian, Jakpro harus bersikap tegas, transparan, dan akuntabel. Hal ini dilaksanakan agar pembangunan JIS juga sejalan dengan pengembangan masyarakat Kampung Bayam," tegas Nadia.
Terlebih lagi, dalam notulen dan catatan rapat antara pihak Jakpro dengan aparatur kewilayahan Jakarta Utara maupun warga, telah disepakati dan diputuskan Jakpro berdialog serta bermusyawarah hanya dengan kepala keluarga (KK) yang merupakan warga Kampung Bayam.
Sedangkan, para pemilik kafe bukan bagian dari komunitas warga Kampung Bayam. Keputusan yang tegas dan terukur ini pun sejatinya selalu dikoordinasikan bersama dengan struktur kewilayahan Jakarta Utara.
Baca juga: Jakpro ambil strategi agar pembangunan JIS tuntas tepat waktu
Baca juga: Pemegang saham rombak direksi dan komisaris PT Jakarta Propertindo
Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021