Jakarta (ANTARA) - Pemerhati sosial dari Universitas Indonesia Dr Devie Rahmawati meminta masyarakat menaruh perhatian serius pada pengasuhan anak yang ditinggal orang tuanya akibat COVID-19.
“Secara hukum, anak-anak harus berada di pelukan keluarga utama, seperti nenek, om atau keluarga lainnya. Baru kemudian yang paling terakhir adalah panti asuhan. Ini perlu menjadi konsen kita bersama, ini bukan hanya persoalan pemerintah tapi juga kita,” ujar Devie dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Dia menambahkan saat ini adalah waktunya untuk menajamkan sinyal sosial. Negara sudah menyiapkan bansos, maka tugas lingkungan adalah memberi perhatian.
“Kegotongroyongan itu tidak melulu persoalan materi. Ini seharusnya peran RT-RW sebagai level yang lebih dekat dan tahu keadaan warganya,” jelas Devie.
Baca juga: Kemensos usul anggaran Rp11 triliun untuk anak yatim piatu pada 2022
Data Satgas Penanganan COVID-19 per 20 Juli 2021 diketahui ada 11.045 anak menjadi yatim piatu, yatim atau piatu karena ditinggal orang tuanya yang meninggal karena COVID-19.
Sementara sebanyak 350.000 anak terpapar COVID-19 dan 777 diantaranya meninggal dunia. Tingkat resiko anak sangat tinggi untuk terinfeksi COVID-19. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian terhadap keterpenuhan gizi anak sebagai upaya pencegahan penurunan imunitas tubuh anak di tengah pandemi.
Ketua Bidang Pengaduan KOPMAS, Rusmarni Rusli, mengupayakan agar anak-anak mendapat asupan gizi yang cukup adalah kunci untuk pembangunan Indonesia pada masa mendatang.
“Memastikan anak kita dan juga anak-anak di sekitar kita adalah tanggung jawab bersama. Ini adalah hal yang mudah dilakukan dan bisa dilakukan oleh siapa saja, yaitu dengan memperhatikan tetangga kiri kanan, tetangga dekat, saudara atau siapapun yang kita kenal, apakah ada yang hanya makan nasi dengan sayur, apakah ada yang makan telur tahu tempe hanya di awal bulan, apakah masih ada yang minumnya kental manis karena orang tua tidak sanggup membeli susu anak,” kata Rusmarni.
Rusmarni menambahkan penting untuk memastikan anak-anak mengonsumsi cukup gizi erat kaitannya dengan kualitas anak pada masa mendatang. Pemenuhan gizi yang tepat sedini mungkin, sangat penting dilakukan untuk mencegah masalah beban ganda gizi. Baik tingginya permasalahan kekurangan gizi dan meningkatnya masalah obesitas, serta pertumbuhan epidemi penyakit tak menular, yang disebabkan oleh asupan gizi yang berlebih pada era transisi gizi yang cepat. Apalagi pada masa pandemi seperti saat ini, yang mana anak-anak menjadi kelompok yang juga rentan tertular COVID-19.
Baca juga: KPAI apresiasi ATENSI Anak lindungi yatim piatu akibat COVID-19
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Dr Kanya Eka Santi, menegaskan bahwa pemerintah memberikan bantuan sosial untuk masyarakat telah memperhitungkan asupan gizi anak.
“Untuk anak-anak ada paket atensi biskuit, kacang hijau dan juga susu, yang pasti bukan susu kental manis, tapi susu kotak,” jelas Kanya.
Pentingnya perhatian terhadap isi bansos itu mengingat banyaknya temuan bantuan sosial yang diterima masyarakat berisikan makanan instan, ataupun makanan tinggi kandungan gula.
Hal itu justru akan menimbulkan masalah baru bagi anak, sebab asupan gula tambahan dalam taraf tinggi pada pola makan harian balita, juga mengakibatkan perubahan biologis, sebagai manifestasi awal penyakit degeneratif pada anak.
Di sisi lain, keluarga-keluarga yang mengalami kerawanan pangan juga rentan dalam pemenuhan kebutuhan gizi pada anak. Jika hal iyi tidak menjadi perhatian bersama, maka akan berakibat pada pelanggaran hak anak mendapat makanan bergizi dan hak kesehatan anak. ***3***
Baca juga: Komisi VIII DPR dukung upaya pemerintah bantu anak yatim piatu
Baca juga: Kemensos siapkan aturan hak asuh anak yatim piatu terdampak COVID-19
Pewarta: Indriani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021