Jakarta (ANTARA News) - Aktor kawakan Didi Petet menilai bahwa dunia industri, terutama hiburan, menciptakan pahlawan semu untuk menarik perhatian konsumen kalangan usia muda demi keuntungan semata.
"Para pahlawan semu ini lebih layak disebut idola. Idola yang diciptakan industri dengan konsep kepahlawanan. Idola belum tentu pahlawan, tetapi pahlawan banyak diidolakan," ujarnya dalam diskusi "Afternoon Tea - Indonesia Spirit: Pahlawan di Mataku", di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA), Jakarta, Jumat.
Dalam diskusi serial bulanan (Diserbu) yang diprakarsai Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Metro TV dan Djarum Bakti Budaya tersebut Didi mengemukakan, dunia industri menciptakan sosok pahlawan semu untuk anak-anak dan remaja yang bisa berdampak hingga dewasa.
"Anak saya yang umur 21 tahun saja tadi pagi saat saya tanya, apa sih pahlawan itu? Dia spontan menjawab, gak tahu tuh! Dia waktu kecil punya pahlawan khusus, yakni Satria Baja Hitam. Ini dampak industri menciptakan pahlawan," ujar aktor bernama lahir Didi Widiatmoko tersebut.
Seniman film dan teater kelahiran Surabaya (Jawa Timur) pada 12 Juli 1956 itu juga menilai, di Indonesia saat ini masih diwarnai eforia, terutama di dunia politik. "Oleh karena itu, saya kira dunia politik saat ini tidak punya pahlawan. Kalau yang berlagak pahlawan mungkin banyak ya? Apalagi saat kampanye," katanya sambil tertawa.
Djafar H. Assegaff, wartawan senior, yang juga menjadi nara sumber diskusi tersebut menggugah generasi muda untuk mempelajari sejarah dan membaca buku tentang sosok tokoh besar. "Dalam dunia politik, saya berpendapat Mr. Raden Mas Sartono adalah pahlawan karena berani menentang Bung Karno yang menjadi Presiden membubarkan parlemen," katanya.
Mr. RM Sartono periode 1950-1955 menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan terpilih kembali pada 1956 berdasarkan hasil pemilihan umum (pemilu) 1955. Presiden Soekarno pada 1960 membubarkan DPR, dan kemudian mengangkat Sartono sebagai Ketua DPR Gotong Royong (GR), ujar Assegaff, yang mantan Duta Besar RI di Hanoi, Vietnam.
"Hebatnya, Mr. Sartono malah menulis surat pada Soekarno yang isinya menolak pengangkatannya. Ia menulis, Soekarno melakukan suatu hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, sangat bertentangan dengan hati nurani Sartono. Ini jiwa kepahlawanan, karena berani menegakkan kebenaran dengan segala risiko," kata Assegaff, yang Penasehat Redaksi di Media Indonesia dan Metro TV Group.
Mantan Wakil Pemimpin Umum Kantor Berita ANTARA itu juga mengemukakan, pahlawan dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang berbuat sesuatu di luar tanggung jawab yang semestinya, dan kinerjanya membuat decak kagum bagi orang lain. Hanya saja, ia menilai, sosok kepahlawananm seseorang juga ada batasnya.
"Sosok pahlawan semacam ini juga dialami Soekarno maupun Soeharto. Mereka adalah sosok anak zaman yang berani tampil mengambil risiko dan punya visi yang kuat. Namun, mereka juga punya masa yang sering dinilai salah dan tercatat dalam sejarah hidupnya," demikian Assegaff.
Pewarta: Priyambodo RH
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010