Jakarta (ANTARA) - Sudah menjadi kebiasaan selama pandemi COVID-19 ketika hampir segala pembukaan kompetisi dan turnamen olahraga diselipi dengan penghormatan kepada para petugas kesehatan.
Dokter dan perawat serta petugas kesehatan lainnya senantiasa mendapatkan tempat istimewa dalam dunia olahraga.
Ini terlihat dari hampir semua event olahraga internasional, mulai dari restart atau bergulirnya kembali liga-liga sepak bola Eropa pada pertengahan tahun lalu, kompetisi NBA dan NFL serta sejenisnya di Amerika Serikat yang juga mulai dilanjutkan lagi tahun lalu, turnamen-turnamen tenis Grand Slam, dan banyak lagi, sampai pembukaan dan penutupan Olimpiade Tokyo bulan lalu serta terakhir pembukaan Paralimpiade 2020 pada 24 Agustus.
Baca juga: Kaisar Jepang resmi buka Paralimpiade Tokyo 2020
Para pekerja kesehatan yang berada di garis depan perang melawan penyakit paling menular yang bisa merenggut nyawanya sendiri itu, ditempatkan tinggi-tinggi baik dalam pembukaan dan penutupan Olimpiade maupun pembukaan Paralimpiade Tokyo yang tertunda satu tahun karena pandemi, seperti halnya terjadi pada pembukaan event-event besar olahraga lainnya di Eropa, Amerika Serikat, dan banyak wilayah dunia lainnya.
Pada Paralimpiade Tokyo 2020, para petugas kesehatan, dan tujuh orang yang mewakili tujuh sektor penting yang membantu rakyat Jepang melewati pandemi virus corona, turut mengantarkan bendera Paralimpiade hingga dikerek untuk berkibar di tiang tegak sampai 5 September nanti.
Pekerja kesehatan juga turut mengantarkan api Paralimpiade sampai dibawa ke kaldron oleh tiga atlet Paralimpiade Jepang; petenis kursi roda nomor satu Jepang Kamiji Yui, atlet boccia Uchida Shunsuke, dan juara angkat berat Morisaki Karin.
Penglibatan mereka adalah simbol apresiasi masyarakat beradab di seluruh dunia kepada para petugas kesehatan yang merupakan orang-orang di garis depan perang melawan pandemi virus corona di mana nyawa mereka dipertaruhkan, selain berjuang demi menyelamatkan nyawa orang lain.
Baca juga: Komite Paralimpiade minta peserta waspadai lonjakan COVID-19 di Tokyo
Dengan menyelamatkan orang lain, para pekerja kesehatan ini menghidupkan harapan manusia-manusia lain sehingga bisa meneruskan hidup untuk kemuliaan dirinya, orang-orang terkasihnya, masyarakat sekitarnya, sampai negaranya, bahkan dunia, tidak saja untuk hari ini, tapi juga untuk hari-hari selanjutnya.
Itulah mungkin esensi mengapa di negara-negara maju yang meninggikan kesehatan warganya, para petugas kesehatan dihormati demikian tinggi.
Karena pula tak mungkin manusia hidup, masyarakat dan negara bisa berharap kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia. Untuk itu, mereka yang menyelamatkan orang lain yang juga bisa berarti menyelamatkan umat manusia, ditempatkan tinggi-tinggi oleh banyak masyarakat madani di dunia.
Tak hanya terjadi pada Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo, event-event besar dunia dari berbagai cabang olahraga pun begitu.
Di Amerika Serikat pada Januari 2021, Super Bowl yang menjadi laga final antara dua tim terbaik sepak bola khas Amerika NFL, dari conference atau wilayah, memberikan tiket gratis kepada 7.500 pekerja kesehatan guna menyaksikan laga yang setara dengan Final NBA dalam bola basket itu.
Baca juga: Ketua penyelenggara janji jauhkan Paralimpiade Tokyo dari pandemi
Menyelamatkan banyak nyawa
Pada turnamen tenis Wimbledon akhir Juni silam, panitia Grand Slam lapangan rumput ini juga mengundang orang-orang yang perannya sentral dalam upaya Inggris melawan dan membendung pandemi virus corona.
Mereka diundang menyaksikan turnamen tenis bergengsi ini, bahkan beberapa di antaranya dipersilahkan menduduki kursi elite di barisan Royak Box yang seharusnya hanya untuk keluarga kerajaan Inggris.
Yang turut duduk di Royal Box itu antara lain pencipta vaksin AstraZeneca, Sarah Gilbert, seorang guru matematika yang menciptakan platform belajar online untuk anak-anak.
Kemudian, seorang perawat NHS (badan kesehatan Inggris) yang memprakarsai penggunaan scrub untuk para pekerja kesehatan garis depan di Inggris, dan seorang insinyur software yang menciptakan aplikasi layanan kesehatan darurat untuk mencari pasien yang paling membutuhkan bantuan perawatan.
Penghargaan dunia kepada pekerja kesehatan begitu tinggi karena mereka adalah pihak yang paling rentan terpapar mengingat sepanjang waktu berinteraksi, menjalin kontak dan berada paling dekat dengan pasien-pasien COVID-19 yang terparah sekalipun.
Nyawa jelas sudah menjadi taruhan mereka. Bukan hanya itu, kesehatan mental mereka menjadi terancam dan lebih terganggu dibandingkan dengan orang-orang dari profesi mana pun.
Baca juga: PM Jepang minta masyarakat tidak berpergian jelang Paralimpiade Tokyo
Tak mengagetkan jika mereka juga orang yang paling mudah diserang stres, apalagi pada saat-saat penularan mencapai puncaknya seperti pada gelombang infeksi akibat varian Delta di Indonesia dan di banyak negara belum lama ini.
Survei yang dilakukan oleh American Medical Association terhadap 20 ribu pekerja kesehatan di Amerika Serikat beberapa waktu lalu memperlihatkan 61 persen para pekerja kesehatan mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya terpapar COVID-19, 43 persen mengaku menderita kelebihan beban kerja, dan 50 persen menderita kelelahan kerja.
Pada tingkat paling ekstrem, situasi-situasi buruk ini bisa berakibat fatal, termasuk kehilangan nyawa.
Akhir Mei 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 115.000 pekerja kesehatan dan perawatan meninggal dunia karena COVID-19 di seluruh dunia.
“Selama hampir 18 bulan, petugas kesehatan dan perawatan di seluruh dunia berada di antara batas antara hidup dan mati," kata Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pidato pembukaan Majelis Kesehatan Dunia bulan itu.“Mereka telah menyelamatkan banyak nyawa, dan berjuang demi nyawa orang lain.”
Bagi Dewan Perawat Internasional (ICN), jumlah korban sebesar itu adalah "aib" bagi dunia di mana masih banyak yang tak mempedulikan bahaya penyakit amat menular itu.
“Jangan coba-coba menganggap sepi kekagetan dan kemarahan kami setelah mengetahui bahwa paling sedikit 115.000 rekan sekerja kami harus memberikan pengorbanan tertingginya," kata Kepala Eksekutif ICN Howard Catton.
Baca juga: Penyelenggara Paralimpiade Tokyo perketat protokol COVID-19
Layak ditiru
Angka 115 ribu itu juga diyakini jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Jelas, sektor kesehatan mereka sektor kerja yang paling banyak direnggut COVID-19.
Padahal satu nyawa pekerja kesehatan bisa menjadi nyawa untuk banyak orang karena kapasitas mereka bisa turut menyelamatkan puluhan, bahkan ratusan dan ribuan lain yang terpapar COVID-19.
Dan mereka yang terpapar bisa siapa saja, dari orang biasa sampai politisi, pengusaha, dan agamawan. Dari mereka yang tak memiliki kuasa terhadap orang banyak, sampai mereka yang memiliki kuasa terhadap kehidupan orang banyak.
Oleh karena itu, tak heran jika eksekutif-eksekutif olahraga, para penyelenggara turnamen, dan badan-badan olahraga di seluruh dunia, juga atlet-atlet, menempatkan tinggi-tinggi para petugas kesehatan.
Selama dunia diselimuti pandemi ini, hampir semua event olahraga diawali dengan memberikan penghormatan kepada petugas kesehatan, termasuk dalam upacara pembukaan Paralimpiade Tokyo 2020 yang mengusung konsep “We Have Wings”itu.
Kebanyakan kalangan di Indonesia, termasuk media massa, gandrung menyebut Olimpiade dan multievent lain seperti Asian Games, SEA Games dan juga PON, sebagai “pesta olahraga”, sebagaimana mengasosiasikan pemilu dengan“pesta demokrasi”.
Pesta sendiri, paling tidak menurut arti harafiah dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti perayaan atau perjamuan karena perasaan suka cita.
Tapi akan menjadi ironi besar jika pesta itu sendiri mengesampingkan penghormatan kepada masyarakat yang berada di bagian paling depan dalam melawan pandemi, yang justru membuat kita tetap sehat dan bisa berpesta.
Pada Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020, baik dalam upacara pembukaan maupun upacara penutupan, pekerja kesehatan selalu dimuliakan pada panggung tinggi.
Karena presentasi semacam itu adalah simbol manusia memuliakan mereka yang menyelamatkan kehidupan, selain juga simbol manusia dalam memuliakan kehidupan. Praktik yang layak ditiru siapa pun.
Baca juga: Rumah sakit di Tokyo kewalahan jelang Paralimpiade Tokyo
Copyright © ANTARA 2021