Jakarta (ANTARA) - Head of Footprint & Market Transformation WWF Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan konsumsi produk yang telah memiliki ekolabel dapat mendukung produksi ramah lingkungan serta program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menjaga hutan dan lingkungan hidup.
“Ini sebetulnya memudahkan upaya-upaya pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan karena isu-isu seperti kebakaran hutan, termasuk permasalahan yang harus tertangani dengan baik oleh produsen yang sudah punya ekolabel,” kata Aditya saat konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa.
Pada Selasa, perusahaan ritel Super Indo resmi meluncurkan produk Minyak Goreng Sawit 365 yang memiliki ekolabel atau sertifikasi keberlanjutan dari Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Menurut perusahaan, produk tersebut merupakan salah satu bentuk komitmen bisnis Super Indo dalam hal keamanan dan keberlanjutan produk dengan menerapkan prinsip ramah lingkungan dan ramah sosial.
“Sebetulnya banyak konsumen yang telah menanti produk-produk yang ramah lingkungan. Saya berharap upaya Super Indo mengeluarkan produk sawit berkelanjutan menjadi tonggak konsumsi dalam negeri bahwa sekarang kita semua punya pilihan untuk ke depan,” ujar Aditya.
Berdasarkan survei MarkPlus Inc. pada 2020, 82 persen konsumen mengatakan bersedia beralih ke produk sawit berkelanjutan.
Angka tersebut mengindikasikan minat konsumen yang telah terbentuk dengan baik, namun pada praktiknya masih ditemukan kendala, seperti keterbatasan informasi produk berkelanjutan, perbedaan harga produk, dan sebagainya.
Director of Assurance & Acting Head of Indonesia Operation RSPO Tiur Rumondang mengatakan sertifikasi RSPO bertujuan untuk menciptakan dampak dan bukan sekadar memberi label ramah lingkungan pada suatu produk.
“Dampak yang diinginkan dari standar RSPO pada produk sawit adalah praktik bisnis yang berkelanjutan dan menyelamatkan yang bisa diselamatkan, seperti menurunkan dampak negatif,” ujarnya.
Tiur mengatakan perbedaan produk berekolabel dan berkeberlanjutan dengan produk lainnya terletak pada level operasional perusahaan.
“Dalam standar-standar RSPO ada banyak sekali persyaratan yang menuntut pada level operasional perusahaan, salah satunya berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi atau penebangan hutan, baik yang secondary maupun primary forest,” terangnya.
Tiur menambahkan standar RSPO juga menuntut perusahaan untuk memperhatikan dampak sosial, seperti harus melakukan izin dengan masyarakat setempat jika ingin membuka lahan, tidak boleh menggunakan lahan di daerah adat yang dihormati, hingga bagaimana perusahaan harus memperlakukan para buruh.
“Semua kepatuhan-kepatuhan itu bisa dicapai tidak hanya klaim kepatuhan saja, tetapi juga diverifikasi oleh RSPO,” katanya.
Baca juga: Kemendag dorong industri sawit berkelanjutan
Baca juga: RSPO: Pekerja perempuan di perkebunan sawit perlu payung hukum
Baca juga: Indonesia didesak ikuti langkah Malaysia buka data lahan kelapa sawit
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021