Kepala BSSN Hinsa Siburian menjelaskan bahwa dari jumlah tersebut, kategori anomali atau serangan terbanyak didominasi oleh malware, lalu aktivitas mengganggu ketersediaan layanan, dan aktivitas trojan.
Adapun sebaran sektor terbanyak yang mengalami kasus kebocoran data akibat malware pencuri informasi adalah sektor pemerintah (45,5 persen), keuangan (21,8 persen), telekomunikasi (10,4 persen), penegakan hukum (10,1 persen), transportasi (10,1 persen), dan lainnya (2,1 persen).
"Lebih banyak memang yang diserang adalah pemerintahan," ucap Hinsa dalam acara virtual, Selasa.
Hinsa mengatakan negara telah memberi mandat kepada BSSN untuk menangani permasalahan keamanan siber di Tanah Air. BSSN, kata dia, terus berupaya mengamankan ruang siber dengan dengan membentuk Computer Security Incident Response Team (CSIRT).
CSIRT merupakan tim yang bertanggung jawab untuk menerima, meninjau, dan menanggapi laporan dan aktivitas insiden keamanan siber. Hinsa mengatakan CSIRT dibangun di lembaga maupun penyelenggara sistem elektronik.
"Itulah pasukan yang sedang kita bangun dan sampai saat ini sudah hampir 100 CSIRT yang sudah terbangun dan terus akan kita bangun sesuai dengan perkembangan dari pembangunan digitalisasi," kata dia.
Hinsa juga menyampaikan bahwa BSSN juga sedang menyelesaikan beberapa produk, di antaranya Strategi Keamanan Siber Nasional. Menurut dia, keberadaan strategi itu penting dalam membangun dan membentuk kekuatan siber nasional.
"Kemudian jika terjadi krisis kita sudah memiliki manajemen krisis siber nasional," ucap purnawirawan TNI berpangkat Letnan Jenderal itu.
Baca juga: Risiko keamanan siber perlu diantisipasi di era 5G
Baca juga: BSSN: 448.491.256 serangan siber terjadi Januari-Mei 2021
Baca juga: BSSN jadikan Bengkulu percontohan aplikasi pengamanan data digital
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021