Jakarta (ANTARA News) - Wakil Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Ali Fathollani mengatakan, negaranya tetap berpegang pada sikap Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang berkunjung ke Indonesia pada 2006, yaitu bahwa Iran tidak membatasi perluasan kerja sama dengan Indonesia.

"Kami ingin belajar dari Indonesia termasuk mengenai keberagaman masyarakatnya. Indonesia yang damai dapat berkontribusi untuk perdamaian dunia," kata Fathollani dalam kuliah umum yang diselenggarakan International Council of World Affair (ICWA) dan Universitas Paramadina di Jakarta, Selasa (23/11).

Ia mengatakan, hubungan Indonesia-Iran bahkan makin penting dan saling membangun dalam kaitannya dengan perkembangan Islam dan semoga juga terjalin di bidang ekonomi, sosial, dan politik.

Fathollani juga menyebut bahwa neraca perdagangan dua negara berjumlah satu miliar dolar AS dan diharapkan dapat meningkat hingga lima miliar dolar setelah penandatanganan berbagai program kemitraan, tanpa merinci program-program yang dimaksud.

Sedangkan menyinggung persoalan dunia dewasa ini, Fathollani mengatakan, negara-negara dunia perlu melakukan perubahan pendekatan terkait masalah-masalah saat ini, termasuk masalah terorisme.

"Iran mengangkat isu kepekaan atas keadilan dalam diplomasi karena ketidakadilan mengakibatkan lebih banyak masalah sehingga kondisi dan aturan yang sekarang dipenuhi ketidakadilan perlu dikaji ulang guna menemukan pendekatan baru untuk menangani masalah di dunia," kata Fathollani.

Ia mengatakan, untuk menghadapi masalah terorisme, tidak bisa menggunakan pendekatan yang hanya sampai pada kulit luar saja, tapi harus mengenai penyebab awalnya.

"Ketidakadilan yang parah menyebabkan munculnya terorisme; kemiskinan, kelaparan, pengangguran adalah masalah-masalah yang harus menjadi fokus untuk diselesaikan sehingga masalah di dunia dapat dihilangkan," katanya dalam bahasa Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Namun, persoalannya saat ini banyak negara malah mengalokasikan anggaran ke sektor militer dan penanggulangan terorisme dan bukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial.

"Padahal kalau sedikit saja anggaran tersebut dialihkan alokasinya untuk mengatasi kemiskinan, saya yakin hal tersebut dapat lebih menyelesaikan masalah," kata Fathollani lagi.

Contoh kasus negara yang diambil oleh Iran terkait hal tersebut adalah Afghanistan.

"Iran setidaknya dipenuhi oleh tiga juta pengungsi perang asal Afghanistan dalam 30 tahun terakhir, ada empat negara di sana yang menurunkan tentara dan persenjataannya padahal hal tersebut bukan solusi bagi Afghanistan, ada cara lain yang lebih rasional," jelasnya.

Situasi yang lebih kurang sama terjadi di Palestina, isu pertama yang harus diselesaikan adalah keadilan.

"Iran mendukung adanya pemilu di Palestina yang mengikutsertakan semua pihak, Islam maupun Kristen, termasuk para pengungsi," imbuh Fathollani.

Nuklir Iran
Terkait isu nuklir yang selama ini selalu menjadi isu yang diangkat dalam hubungan negara-negara dengan Iran, Fathollani mengatakan Iran adalah negara yang menandatangani Non Proliferation Treaty (NPT) dan menaati hal tersebut.

"Iran pun mengolah teknologi nuklir secara domestik untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan badan PBB khusus nuklir (IAEA) juga melakukan inspeksi secara terjadwal dan rutin ke Iran. Iran juga akan melakukan perundingan mengenai nuklir dengan Uni Eropa dalam waktu dekat sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jelasnya.

Fathollani mengatakan bahwa Iran menentang proliferasi senjata nuklir, sesuai dengan ajaran agama Islam dan memegang sikap bahwa `energi nuklir damai berlaku untuk semua namun bom nuklir tidak boleh untuk siapa pun`.

"Persoalannya sekarang ada negara yang memiliki senjata nuklir namun tidak mendapat respon negatif seperti yang didapat Iran walau kami menggunakannya untuk keperluan damai," katanya.

Isolasi yang coba diterapkan oleh beberapa negara atas Iran karena isu nuklir tersebut tidak akan mendapatkan hasil, karena menurut Fathollani, Iran sudah mencapai kemandirian dalam teknologi dan karena adanya perkembangan peran negara-negara kecil dan menengah di dunia.

"Iran sudah mencapai kemajuan pesat di bidang teknologi seperti pencapaian di bidang industri penerbangan, angkasa, teknologi sel-sel dasar dan lainnya sehingga isolasi tidak lagi mempan untuk diberlakukan kepada Iran," jelas Fathollani.

"Keadaan dunia juga sudah berubah dibanding saat Perang Dingin di mana komunisme dan kapitalisme memberikan batasan kepada negara-negara yang lebih kecil tentang apa yang harus mereka lakukan. Namun sekarang negara kecil dan menengah mendapat kesempatan lebih besar untuk memainkan perannya," katanya.

Contohnya adalah negara-negara di Amerika Latin, negara bekas Uni Soviet, juga di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) termasuk Indonesia.

"Iran sebagai negara di jantung kawasan yang sensitif dan strategis di Timur Tengah mendefinisikan kehadiran kami di dunia internasional secara damai serta aktif mencermati perkembangan yang belakangan terjadi," katanya.

Fathollani mengambil contoh bagaimana perlakuan China harus dibedakan seturut dengan perkembangan negara itu sendiri.

"Perlakuan atas China yang dulu tertutup berbeda dengan China yang sekarang sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, kuncinya adalah bagaimana menciptakan keseimbangan," jelasnya.

Ia juga meminta agar negara-negara Asia dapat menentukan masa depannya sendiri tanpa diganggu oleh negara lain karena negara-negara di Asia memiliki kemampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri."Kekuatan Asia sungguh nyata dan bukan propaganda semata," katanya.
(KR-DLN/A041)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010