Ada 3,5 juta ton lagi peluang yang bisa dimanfaatkan, yang nilainya itu kira-kira sebesar Rp132 triliun
Jakarta (ANTARA) - Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini mengajak berbagai pihak memanfaatkan potensi sumber daya sektor kelautan dan perikanan yang belum termanfaatkan di laut Indonesia, yang mencapai senilai Rp132 triliun.
"Dari potensi 10,2 juta ton, JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) yang kita miliki, yang dimanfaatkan baru sekitar 6,7 juta ton. Maka, kira-kira ada 3,5 juta ton lagi peluang yang bisa dimanfaatkan, yang nilainya itu kira-kira sebesar Rp132 triliun," katanya dalam webinar mengenai arah kebijakan tata kelola perikanan berkelanjutan yang digelar di Jakarta, Selasa.
Zaini menegaskan angka Rp132 triliun itu bukanlah nilai keseluruhan dari produksi perikanan yang bisa ditangkap di kawasan perairan Indonesia, tetapi sisa peluang sumber daya ikan yang masih bisa dimanfaatkan.
Ia juga mengemukakan nilai produksi perikanan pada 2019 mencapai Rp209 triliun dan meningkat menjadi Rp224 triliun pada 2020.
"Nah, kalau sisa Rp132 triliun ini bisa kita manfaatkan, maka nilai produksi totalnya bisa mencapai lebih dari Rp300 triliun (per tahun)," katanya.
Dirjen Perikanan Tangkap juga menuturkan bidang perikanan tangkap harus dikelola dengan menggunakan prinsip ekonomi biru yang mengolaborasikan antara kepentingan ekologi dan ekonomi, karena bila kondisi daya dukung lingkungannya tidak terpelihara, apalagi rusak, maka tidak akan bisa dimanfaatkan ekonominya.
Untuk itu, ujar dia, KKP merancang model penangkapan terukur yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan secara terukur, dari hulu sampai ke hilir, sesuai daya dukungnya.
Dalam rancangan terkait implementasi konsep penangkapan ikan terukur, ada zona penangkapan terukur fishing industri yang terdiri atas empat zona, yaitu Zona I (Wilayah Pengelolaan Perikanan/WPP 711, yaitu Laut Natuna dan Selat Karimata), Zona II (WPP 572 dan 573 di Samudera Hindia), Zona III (WPP 716 dan 717 di Laut Sulawesi hingga Teluk Cenderawasih yang berbatasan dengan Pasifik), dan Zona IV (WPP 715 dan 718, yaitu sekitar Laut Maluku dan Arafuru).
Selain itu, ada pula wilayah terbatas dan nursery ground yaitu WPP 714 (Laut Banda), serta zona bebas untuk nelayan lokal di WPP 571, 712, dan 713 (yaitu di sekitar Selat Malaka, Laut Andaman, Laut Jawa, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).
Pihak KKP, menurut Zaini, akan melakukan pengawasan dengan ketat terkait dengan hal tersebut.
Ia juga menyebut pelaporan logbook atau catatan tertulis nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan, dengan penangkapan terukur bakal tidak lagi dilakukan secara manual melainkan secara elektronik melalui gawai masing-masing nakhoda kapal.
Pembicara lainnya, Plt Kepala Badan Riset dan SDM KKP Kusdiantoro menyatakan pihaknya melakukan proses pengumpulan data tidak hanya sebatas survei di laut tetapi juga data biologis serta observasi dan data melalui satelit.
Ia juga mendukung pengumpulan data yang perlu dilakukan melalui penguatan jejaring pendataan dengan berbagai pemangku kepentingan seperti LSM, perguruan tinggi, dan pemda.
Sementara, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Herlina Hartanto mengingatkan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan merupakan mandat UU Perikanan.
Baca juga: Menteri KKP: Indonesia mampu ekspor perikanan terbesar di dunia
Baca juga: Memperkuat kolaborasi penangkapan ikan secara berkelanjutan
Baca juga: Pengamat: Teknologi deteksi pencurian ikan perlu jadi fokus anggaran
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021