Jakarta (ANTARA) - Di tengah kecemasan menghadapi wabah Covid-19, umat manusia mulai menemukan titik terang untuk mengatasi virus ini.
Terlepas dari pro dan kontra soal vaksin, harus diakui vaksinasi sebagai cara terbaik untuk mencegah penularan Covid-19, meski masih harus tetap dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan seperti penggunaan masker dan budaya hidup sehat lainnya.
Bukti dari efektifitasnya vaksin dalam mencegah wabah ini adalah Eropa, yang dengan percaya diri menggelar UEFA EURO 2020 yang digelar pada tahun 2021yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di tengah masih adanya pandemi di sana. Jepang pun berhasil menggelar Olimpiade Tokyo 2020 yang penyelenggaraannya terjadi pada pertengahan 2021.
Di dalam negeri sendiri, Jakarta pada masa pandemi Covid-19 merupakan daerah yang masuk dalam zona merah, namun pada sekitar minggu kedua Agustus 2021, provinsi ini masuk dalam zona hijau.
Banyak faktor yang membuat Jakarta menjadi zona hijau. Pemberlakuan PPKM Darurat Jawa-Bali, PPKM Level 4, dan vaksinasi yang masif kepada warga, merupakan kunci Jakarta menjadi zona hijaunya.
Wakil Gubernur Jakarta Ahmad Riza Patria pada 16 Agustus 2021 mengatakan meski wilayahnya sudah masuk zona hijau, masyarakat diminta tetap waspada. Agar terjadi kekebalan komunal atau herd immunity maka Jakarta akan melakukan percepatan vaksinasi. Target vaksinasi dari 9 juta menjadi 11 juta warga.
Menjadi masuk dalam zona hijau inilah yang membuat Jakarta sedikit demi sedikit mulai membuka diri. Taman Wisata Ancol mulai buka meski dikhususkan untuk mereka yang berolahraga dengan pembatasan jam.
Bila vaksinasi ini diyakini sebagai salah satu upaya membuat kita kebal dengan virus yang ada, maka program ini harus terus digencarkan dan dimasifkan. Ini penting agar semua sektor yang ada bisa kembali menggeliat lagi.
Bangkitkan pariwisata
Seorang kawan yang tinggal di Bali menuliskan dalam akun media sosialnya, menyatakan tentang kekhawatiran akan masa depan pariwisata di sana terkait diperpanjangnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Dalam status yang diunggah pada pertengahan Agustus 2021 itu, teman saya itu menyebut pertumbuhan perekonomian Bali saat ini sudah minus dua persen. Hal ini juga dilansir Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali yang menyebut pada 2021, pertumbuhan ekonomi Bali diperkirakan masih terkontraksi dalam kisaran minus empat persen hingga minus dua persen (Republika.co.id, 27 Juli 2021)
Ungkapan kekhawatiran kawan yang tinggal di Jimbaran itu memperkuat fakta bahwa dampak pandemi Covid-19 yang telah menjungkirbalikkan sektor andalan masyarakat Bali itu. Namun, Bali tidak sendiri mengalami kerugian dalam sektor pariwisata. Daerah tujuan wisata lain di negeri ini seperti Yogyakarta, Borobudur, Lombok, Labuan Bajo, dan banyak daerah wisata lainnya juga mengalami nasib yang sama.
Kerugian itu bisa terjadi karena adanya berbagai pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintah mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PPKM Darurat Jawa-Bali, dan PPKM Level 1-4 dalam rangka mengendalikan penyebaran virus Corona di Indonesia.
Pembatasan tersebut membatasi mobilisasi dan atau bahkan melarang orang bepergian agar tidak terjadi penularan Covid-19. Untuk mendukung upaya itu, berbagai kebijakan juga dikeluarkan ditetapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti menutup tempat-tempat wisata, membatasi penerbangan, pembatasan pergerakan kereta, bus, kapal laut, dan jenis transportasi lainnya.
Jangankan berwisata, berpergian untuk urusan mendesak saja sangat sulit pada saat ini. Hal tersebut mengakibatkan orang tidak bisa bepergian, apalagi berwisata. Turun drastisnya jumlah wisatawan memberikan efek domino bagi sektor pendukung pariwisata yang terjadi adalah seperti tidak ada orang menginap, turunnya tingkat okupansi di hotel, sepinya pengunjung, tidak ada orang pergi ke restoran, kafe, pusat perbelanjaan oleh-oleh dan tidak ada orang belanja oleh-oleh atau cinderamata termasuk juga jasa transportasi dan tentu saja masyarakat lokal setempat yang mengandalkan kehidupannya dari sektor ini.
Sebab tidak ada tamu atau wisatawan maka sektor pendukung pariwisata seperti hotel, restoran, kafe, pusat oleh-oleh, dan jasa transportasi mengalami kerugian hingga kebangkrutan. Banyak toko di Bali yang berada di kawasan Kuta, tutup. Di beberapa toko, di pintunya beberapa toko juga tertulis ‘dijual’. Kebangkrutan sudah dipelupuk mata. Hal demikian menandakan mereka sudah menyerah. Seperti halnya yang dilakukan para pedagang di Malioboro, Yogyakarta yang telah mengibarkan bendera putih.
Sektor pariwisata sejak pandemi ini muncul pada awal Maret 2020 lalu, perlahan lahan mulai kehabisan nafas.
Setidaknya, menurut Kamar Dagang dan Industri Indonesia (11 Januari 2021), hingga akhir 2020, total kerugian sektor pariwisata akibat pandemi Covid-19 mencapai lebih dari Rp10 triliun.
Bila wabah ini belum berakhir dan masih diterapkan berbagai kebijakan pembatasan hingga entah kapan dicabutnya maka kerugian yang akan dialami sektor pariwisata akan semakin menggelembung.
Hampir seluruh sektor terdampak pandemi Covid-19, sebut saja dunia kesehatan, pendidikan, ekonomi, pariwisata, dan sektor-sektor lainnya terdampak pandemi Covid-19. Pariwisata bisa jadi merupakan sektor yang paling sulit lepas dari dari pandemi, sebab sektor ini merupakan sektor yang berada langsung di lapangan.
Orang-orang yang berwisata atau jalan-jalan pastinya harus berada di tempat yang dituju atau di lapangan. Kalau hendak ke Labuan Bajo, pastinya orang harus menuju ke Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, untuk benar-benar dapat merasakannya.
Ada upaya untuk tetap melakukan wisata di tengah pandemi, yakni dengan wisata daring atau virtual, namun cara-cara elektronik itu tidak dapat memberikan rasa puas dibandingkan dengan bila langsung datang ke tempat tujuannya.
Sektor wisata yang sudah setahun lebih tidak berdaya perlu diperhatikan dan perlu divaksin, baik ‘vaksin bantuan modal’ maupun vaksin ke dalam tubuh kepada para pelaku penggerak usaha pariwisatanya agar tercipta kekebalan komunal di sektor ini.
Ini penting, sebab pariwisata merupakan salah satu sektor yang bisa diandalkan bangsa ini, karena Indonesia memiliki potensi tempat wisata alam dan budaya yang luar biasa nilainya.
Menteri Pariwisata Periode 2014-2019, Arief Yahya pada November 2017 lalu, mengatakan, pariwisata akan jadi sektor andalan Indonesia. Mengutip data statistik, kementerian yang dipimpinnya menyebut industri pariwisata Indonesia sudah memiliki pertumbuhan 7,2 persen. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan pariwisata dunia yang sebesar 4,7 persen. Dengan jumlah turis dunia yang mencapai 1,3 miliar orang, ada potensi meningkatkan pertumbuhan kunjungan wisata.
Bila selama ini target meningkatkan devisa negara dari sektor pariwisata dengan membidik wisatawan mancanegara maka Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, membidik wisatawan dalam negeri atau turis domestik.
Alasan Sandi membidik wisatawan dalam negeri, pertama, saat pandemi kunjungan wisatawan mancanegara melemah. Kedua, data survei BPS menunjukkan turis domestik berkontribusi pada Rp150 triliun terhadap ekonomi kita. Ini hampir lima persen APBN. Ungkapan Sandi ini disampaikan pada April 2021 di mediaindonesia.com.
Untuk itu, kata Sandi, tepat jika saat ini dalam upayanya membangkitkan perekonomian melalui sektor pariwisata, pemerintah membangun fasilitas dan sarana yang lengkap bagi wisatawan dalam negeri.
Apa yang dikatakan Sandi tersebut perlu didukung sebab ada data yang menyebut bahwa di masa pandemi ini, 78 persen wisatawan yang ada adalah dari wisatawan dalam negeri. Wisatawan dalam negeri ternyata potensinya sangat besar. Saat Covid-19 terkendali, bila potensi wisatawan dalam dan luar negeri digabung, pastinya angkanya sangat tinggi.
Dengan melihat data dan fakta di atas, perlu rasanya kita untuk terus mendorong dan memberdayakan potensi pariwisata yang ada.
Langkah pemerintah dalam menggarap sektor ini bukan main-main, buktinya digarap proyek nasional 10 Bali Baru. Proyek ini suatu langkah agar potensi wisata yang ada di Labuan Bajo, Danau Toba, Pulau Seribu, Tanjung Lesung, Candi Borobudur, Gunung Bromo, bisa seperti Bali yang mampu mendulang dan menghasilkan devisa bagi bangsa dan kesejahteraan bagi rakyat di sana.
Di tengah harapan agar Covid-19 ini bisa terkendali, dengan bukti semakin menurunnya jumlah kasus di Jawa-Bali, pemerintah dan pelaku usaha di sektor wisata diharap mempersiapkan diri untuk menyambut kehidupan yang normal, kehidupan di mana masyarakat secara komunal sudah kebal terhadap Covid-19.
Dengan mempersiapkan diri maka pelaku wisata tidak gagap bila menghadapi lonjakan wisatawan yang berbondong-bondong menginginkan jasanya. Sebab sudah satu tahun mereka tidak bekerja atau telah beralih profesi.
Masyarakat yang sudah dikungkung setahun lebih sebab ada pembatasan perjalanan, ketika kekebalan komunal sudah terbentuk, mereka sudah tidak sabar melakukan liburan, menikmati alam dan budaya Indonesia yang nilainya luar biasa.
Dirgahayu Republik Indonesia, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh.
*) Budi Muliawan, pemerhati sosial kebangsaan/alumnus FH Universitas Brawijaya dan Alumni Program Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia
Copyright © ANTARA 2021