Saya adalah mayoritas, karena itu minoritas harus nurut dengan saya

Jakarta (ANTARA) - Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia (Gusdurian Network Indonesia/GNI) Alissa Wahid mengatakan bahwa perempuan berperan penting untuk melawan ekstremisme yang terjadi di Indonesia.

“Perempuan berperan dalam memperkuat wawasan keagamaan yang moderat, karena ekstremisme di Indonesia lebih banyak atas nama agama,” kata Alissa Wahid dalam Dialog Kebangsaan yang bertajuk "Perempuan dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan", Senin.

Alissa menekankan, berbicara mengenai ekstremisme dan intoleransi atas nama agama tidak hanya melibatkan satu agama. Terdapat berbagai jenis intoleransi yang terjadi di wilayah di Indonesia dan melibatkan agama yang beragam.

Berdasarkan hal tersebut, bagi Direktur Nasional GNI ini, yang mengakibatkan munculnya intoleransi bukan merupakan ajaran agama tertentu, melainkan karena perasaan berkuasa akibat menjadi bagian dari mayoritas.

“Ternyata faktor utamanya adalah perasaan bahwa, ‘Saya adalah mayoritas, karena itu minoritas harus nurut dengan saya’,” ujar Alissa.

Oleh karena itu, katanya pula, perempuan sebagai aktor bangsa, khususnya sebagai seorang ibu, memiliki peran penting dalam menjaga anggota keluarga agar tidak terlibat ekstremisme dengan cara menguatkan akar keindonesiaan melalui keluarga, dan memperkuat wawasan keagamaan yang moderat.

Dalam presentasinya, Alissa memaparkan bahwa keberhasilan moderasi beragama pada masyarakat Indonesia dapat dilihat dari tingginya implementasi empat indikator utama dalam kehidupan sehari-hari, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi.

Pada indikator komitmen kebangsaan, dapat dilihat apakah masyarakat telah menerima dan menjalankan prinsip-prinsip berbangsa, sesuai dengan yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya.

Selanjutnya, pada indikator toleransi, dapat dilihat apakah masyarakat Indonesia telah menghormati perbedaan dan memberi ruang kepada orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat serta menghargai kesetaraan dan bersedia bekerja sama.

Terkait indikator anti kekerasan, menurutnya lagi, dapat dilihat melalui penolakan seseorang terhadap tindakan kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkan.

Indikator keempat adalah penerimaan terhadap tradisi, yang mana dapat dilihat dari kemampuan masyarakat dalam membuka diri untuk menerima tradisi dan budaya lain, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama, katanya pula.

“Sayangnya, banyak perempuan yang sekarang menjadi aktor ekstremisme,” ujar Alissa.

Pada tahun 2015, Kelompok ISIS membuat pernyataan bahwa perempuan boleh terlibat di garis depan. Hal ini merupakan ancaman yang paling ekstrem bagi perempuan dalam konteks persatuan bangsa.

Sebagai respons atas kondisi tersebut, Alissa Wahid mengajak para perempuan untuk berperan aktif memperkuat kesadaran hidup bersama dengan warga lainnya berlandaskan pada semangat Bhinneka Tunggal Ika.

“Bersama-sama memperkuat kesadaran hidup kita, bahwa kita ini hidup sebagai warga negara dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika,” kata Alissa.
Baca juga: Akademisi UI: Cegah munculnya kombatan perempuan akibat ekstremisme
Baca juga: Perempuan terpapar radikalisme perlu perhatian khusus

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021