Yogyakata (ANTARA News) - Tak ada yang tahu kapan dan siapa yang pertama menyebut "wedus gembel" untuk awan panas hasil erupsi Gunung Merapi.
"Sebelum saya lahir pun sebutan itu sudah ada," kata Sudarmo (55), warga Dusun Manyong, Cangkringan, Yogyakarta. Santoso (48), warga kecamatan Cangkringan lainnya, menimpali, "Itu ada sendiri kok."
Sejumlah tempat di Cangkringan di mana Sudarmo dan Santoso tinggal, hancur disapu lahar dan awan panas Merapi.
Para pakar pun kesulitan menelusuri awal kata itu dipakai. Yang pasti, istilah itu mencerminkan masyarakat dari generasi ke generasi telah mengakrabi fenomena alam itu dan menandakan proses sosial sejalan dengan proses alam yang oleh manusia sekarang kian diyakini terjadi berulang.
Jika menelisik sejarah, fenomena alam berulang itu sebenarnya terekam pada setiap monumen, artifak, mitos, dan peninggalan bersejarah lainnya.
Di situ tak hanya tersimpan dan tersurat pencapaian peradaban, namun juga bagaimana manusia masa lalu bereaksi terhadap gejolak alam, termasuk letusan Merapi di tengah pulau Jawa ini.
Salah satu monumen bercerita itu adalah Candi Borbudur. Pada candi yang tengah dibersihkan dari abu Merapi tersebut, terbentang rangkaian kisah bagaimana manusia zaman dulu merespons bencana yang bisa menjadi bahan ajar penting bagi manusia sekarang.
Candi yang dibangun wangsa Syailendra pada 824 Masehi dan diselesaikan setengah abad kemudian itu diyakini berada di pusat kerajaan Mataram Kuno.
Menurut Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Marsis Sutopo, saat Mpu Sindok memerintah kerajaan kuno itu 200 tahun setelah Borobudur dibangun, pusat kerajaan dipindahkan dari daerah yang kini disebut Jawa Tengah ke wilayah yang sekarang dikenal Jawa Timur.
Para pakar berasumsi, ada malapetaka besar yang memaksa Mataram kuno memindahkan pemerintahannya. "Pasti itu ada apa-apanya sehingga kerajaan sampai pindah begitu jauh," kata Marsis.
Dan memang, seperti ditengarai arkeolog Reinout Willem van Bemmelen, istana Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur setelah Gunung Merapi meletus hebat sehingga mencipta malapetaka besar.
"Orang kuno menyebut malapetaka itu pralaya. Itu tertulis dalam manuskrip sejarah," kata Marsis.
Kini, 1.200 tahun kemudian, abu gunung yang sama menutup Borbudur, kendati jauh lebih tipis, termasuk jika dibandingkan saat akan dipugar Belanda pertama kali pada 1907.
Reformasi prilaku
Borobudur tak sekedar monumen, apalagi situs pariwisata. Jika manusia bijak, monumen-monumen kuno seperti Borobudur itu memesankan bagaimana manusia masa lalu berpesan kepada manusia sekarang untuk berkaca dari pengalaman mereka.
"Sayangnya masyarakat tidak peduli pada referensi sejarah, padahal kehidupan yang didalamnya termasuk bencana, adalah siklus yang tercatat dalam sejarah," kata arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Djoko Dwiyanto.
Djoko mengungkapkan, kehidupan di Jawa Tengah pernah berhenti sama sekali selama dua tahun, mulai 926 Masehi, "Prasasti terakhir di Jawa Tengah bertanggalkan tahun 925 dan baru pada 928 Masehi ditemukan lagi prasasti, tapi adanya di Jawa Timur," kata Djoko.
Djoko, seperti halnya teorisasi van Bemmelen, menengarai malapetaka hebat telah membuat sistem kehidupan berhenti. Dan malapetaka itu adalah letusan Gunung Merapi.
Pindahnya Mataram Kuno ke Jawa TImur dan cerita-cerita rakyat yang ditarik dari masa itu, adalah bagian dari rekomendasi-rekomendasi sejarah untuk masa sekarang tentang bagaimana manusia bereaksi terhadap alam yang berubah drastis.
Referensi masa lalu menjadi penting karena bencana yang terjadi kini adalah juga bencana yang terjadi di masa lalu. Dengan abai dan memahami rekomendasi masa lalu, manusia sekarang bisa lebih siap menjawab dampak malapetaka.
Djoko Dwiyanto mengkritik pola pandang masyarakat yang cenderung fokus pada mitos, dan ironisnya pada tingkat tertentu dilanggengkan oleh sistem kebijakan. Kefokusan yang mengesampingkan logika dan rasionalitas ini membuat manusia gagal membaca gejala-gejala alam.
"Kepercayaan kepada mitos itu `nanggung`, karena di sisi lain masyarakat tak mempedulikan siklus alam," katanya.
"Alam itu tidak diam," sambung sejarawan UGM, Ahmad Adaby Darban.
Oleh karena itu, Ahmad meneruskan, "Masyarakat harus siap mental dan siap rasional dengan memahami konsekuensi tinggal di daerah bencana dan bertindak rasional karena semua gejala alam bisa dijangkau akal."
Yang menarik, fakta masa silam dan prilaku masa kini ternyata bertautan. Ada kesamaan antara respons sistem kekuasaan masa lalu terhadap bencana, dengan respons sama dari sistem kekuasaan sekarang menghadapi isu serupa, kata Djoko berteori.
"Keduanya sama-sama fokus pada kekuasaan sehingga lupa bagaimana cepat bertindak mengatasi dampak bencana," kata Djoko.
Padahal, seperti lazim terjadi pada negara yang dikelilingi bencana, antisipasi dan respons terhadap bencana semestinya sudah menjadi rutinitas.
"Penanganan bencana itu bagian dari pelayanan masyarakat, persis saat kita mendapatkan KTP. Dengan begitu, tak ada alasan untuk gagap dan lamban bertindak mengatasi dampak bencana," kata sosiolog Heru Nugroho.
Kepada ANTARA, para pakar ini mengharapkan masyarakat dan pengambil kebijakan melibatkan banyak komponen dan pihak saat menangani bencana, serta perlunya memperhatikan rekomendasi masa lalu sebagai bahan pertimbangan saat merespons bencana.
Selain itu, adalah waktunya kini bagi Indonesia untuk melihat dan menyikapi alam dengan melibatkan pendekatan yang interdispliner dan lintas pakar, sehingga semua aspek dapat dilihat dan disikapi.
Pola seperti ini pula yang ditempuh negara-negara bersahabatkan bencana alam, seperti Jepang.
Jepang bahkan menanamkan kesadaran dan pengetahuan bencana, realitas alam dan bagaimana perubahan drastis pada alam dsikapi manusia, sejak anak-anak mereka bersekolah di tingkat dasar.
Apalagi, mengutip Ahmad Adaby, pemahaman bencana itu membutuhkan waktu lama karena berkaitan dengan perubahan cara pandang sosial. "Dan jalan pendidikan adalah cara tepat untuk mengubah pola pikir masyarakat itu," kata Ahmad.
Yang juga mendesak adalah merangsang sistem penyelenggaraan negara --termasuk pula elite politik-- memberi respons cepat dan abai pada persoalan sosial akibat bencana.
Berkaitan dengan ini, sosiolog Heru Nugroho menilai mesti ada perubahan dalam pola rekrutmen politik sehingga penyelenggara pelayanan publik cepat bertindak, responsif, dan menenggang rasa kepada sistem sosial yang terkena bencana.
Pola pikir baru seperti itu mutlak diperlukan karena Indonesia dikelilingi bencana, dari letusan gunung berapi, gempa bumi, gelombang tsunami, banjir, sampai longsor.
Merapi kini tenang kembali, tapi tak ada jaminan itu adalah bencana terakhir yang menimpa Indonesia.
Oleh karena itu, seperti diungkapkan Heru Nugroho, sintesis dari bencana adalah reformasi prilaku sosial dan politik bangsa ini, sehingga selalu bisa berdiri tepat dan sigap menghadapi bencana. (*)
Oleh Jafar M. Sidik
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010