Jakarta (ANTARA News) - Ditemani segelas kopi panas, dingin malam yang menembus dinding ruang tamu utama rumah dinasnya di Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan, Sabtu malam (20/11), Sekretaris Kabinet Dipo Alam fasih bertutur mengenai Recep Tayyip Erdogan, Abdullah Gul, Mahsun Kırmızıgul hingga Fatih Terim.

Pria kelahiran 17 Nopember 1949 itu sangat fasih berbicara mengenai tokoh papan atas asal Turki itu.

Itu memang bukan hal aneh karena sebelum diminta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengisi jabatan sekretaris kabinet Indonesia Bersatu II, Dipo Alam adalah Sekretaris Jenderal Organisasi Developing 8 (D-8) yang berkantor di Istambul, Turki.

Sekalipun sudah meninggalkan Istambul lebih dari setahun lalu namun kentalnya nuansa Turki di setiap sudut ruang tamu utama rumah dinasnya seakan meneriakkan kedekatan ayah dua anak itu terhadap salah satu negara di ujung benua Eropa itu.

Sebuah lukisan besar foto Dipo Alam dan istrinya dengan latar Turki menghiasi salah satu dinding ruang tamunya, bersanding dengan aneka pajangan keramik dan guci asal negeri bani Utsmaniyah tersebut.

Dipo Alam yang malam itu mengenakan kemeja batik lengan panjang berwarna biru --secara khusus ia mengganti kemeja lengan pendek warna hitam bergaris putihnya dengan batik untuk lebih memberi warna Indonesia ketika ia mengetahui jika wawancara malam itu juga akan ditampilkan di salah satu televisi Turki-- memulai penjelasannya tentang ketertarikan mendalamnya pada kerjasama yang lebih erat antara Indonesia dan Turki.

Ia menuturkan kegundahannya pada konotasi negatif Islam di mata dunia barat dan non Islam yang dipicu oleh berbagai tindak terorisme dan sejumlah konflik berkepanjangan di negara-negara Islam.

Sebagai umat Islam dari sebuah negara mayoritas Islam Dipo Alam merasa terpanggil untuk menunjukkan Islam yang sesungguhnya kepada dunia guna menghentikan persepsi negatif yang menyudutkan.

Dan ia melihat Turki sebagai mitra yang tepat bagi Indonesia untuk mengirim pesan tersebut ke masyarkat internasional karena sebagaimana Indonesia, Turki yang berpenduduk mayoritas muslim tidak mengklaim dirinya sebagai negara Islam dan mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara.

"Saya merasa Indonesia dan Turki dapat menunjukkan kepada dunia barat, dunia non Islam, mengenai Islam yang sesungguhnya," katanya.

Melalui Indonesia dan Turki, dunia bisa melihat bagaimana negara muslim memiliki kemajuan dalam demokrasi, pendidikan, ekonomi, perdagangan dan teknologi.

Dipo menegaskan bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan. "Islam sama dengan agama-agama yang lain, identik dengan perdamaian, tapi (sayangnya) banyak orang yang salah melihat konflik di Irak, Afghanistan, teroris dan lain-lain itu sebagai Islam. Itu salah," ujarnya.

Oleh karena itu suami dari Ninik Setyawati itu menyambut baik sikap Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk bertandang ke Turki dan Indonesia.

"Saya senang melihat Obama ke Turki dan Indonesia, dia itu memperlihatkan inilah jalan untuk mengkomunikasikan dunia Islam dengan barat dengan AS atau Eropa," katanya. Sebuah foto saat Dipo Alam berjabat tangan dengan Obama di Istana Merdeka tampak juga menghiasi salah satu lemari pajangan di ruang tamu itu.

Dipo Alam kemudian menarasikan Islamophobia di negara-negara barat tersebut melalui salah satu film laris karya sutradara kawakan Turki, Mahsun Kırmızıgul yang bertajuk "New York`ta Bes Minare" (Lima Menara Masjid di New York).

Menurut dia, film tersebut mampu menangkap Islamophobia di Amerika Serikat pasca serangan 11 September dan menyampaikan sebuah pesan baru ke dunia barat.

Ia menilai film adalah salah satu media yang efektif untuk menyampaikan pesan dan nilai. Ia kemudian mencontohkan bagaimana Amerika Serikat mampu mendominasi pandangan-pandangan di dunia melalui film-filmnya yang membanjiri seluruh dunia.

Melalui film Dipo juga berharap dapat memperkenalkan Indonesia pada masyarakat Turki karena ia menilai banyak peluang kerjasama dan usaha yang belum tersentuh karena kedua masyarakat belum saling mengenal.

"Tak kenal maka tak sayang, bukan?"

Ia berharap suatu saat nanti dapat diselenggarakan suatu festival film Indonesia di Turki, agar masyarakat Turki tidak hanya mengenal Indonesia dari tsunami dan bom saja. Namun Dipo berharap festival film tersebut digarap serius dan berorientasi keuntungan.

"Seperti film-film Kirmizigul, ini contoh bagaimana membawa misi tapi dibelakangnya bisnis," tambahnya mengenai selarasnya kerjasama budaya dan ekonomi.

Bagi lulusan Fakultas MIPA Universitas Indonesia 32 tahun lalu itu, nilai ekonomi dari setiap kerjasama yang terjalin memang tidak dapat begitu saja diabaikan, walaupun itu bukan satu-satunya tujuan.

Mendekatkan Dua Bangsa
Sambil bersandar pada sofa pendek berwarna coklat muda, pria yang hobi melukis itu kemudian menjelaskan upayanya untuk merintis hubungan kerjasama yang lebih erat antara Indonesia dan Turki melalui peningkatan hubungan antar individu atau "people to people contact".

Ia menyambut baik komitmen PM Turki Erdogan untuk meningkatkan jumlah beasiswa bagi mahasiswa Indonesia, mulai masuknya sejumlah makanan Turki ke Indonesia, pendirian sekolah-sekolah Turki di Indonesia, rencana perjanjian pemberlakuan visa kedatangan bagi wisatawan kedua negara, kerjasama penerbangan serta impiannya mendorong dibentuknya liga sepakbola Indonesia-Turki untuk menyelamatakan sepakbola nasional.

"Pada Oktober lalu saya bertemu PM Erdogan dan ia menyatakan bahwa hubungan dengan Indonesia adalah strategis," katanya

Dalam lawatan Presiden Yudhoyono ke Turki, menurut Dipo juga telah dihasilkan komitmen untuk membawa hubungan kedua negara ke tingkat yang lebih tinggi. Indonesia, kata dia juga telah menempatkan Turki dalam jajaran 13 negara yang memiliki hubungan strategis dengan Indonesia.

Oleh karena itu, ia berharap saat kedatangan Presiden Turki Abdullah Gul ke Indonesia pada Maret atau April 2011 dapat disepakati sejumlah kesepakatan mendasar, salah satunya adalah peta jalan hubungan kedua negara 20 tahun mendatang serta perjanjian visa kedatangan.

Menurut pemegang gelar doktor dari Universitas George Washington tersebut tentu tidak mudah menyusun peta jalan hubungan strategis untuk 20 tahun, namun setidaknya pada lawatan Presiden Gul sudah dapat disepakati sejumlah kesepakatan mendasar.

"Tentu belum sempurna, namun harus dimulai," katanya seraya menambahkan perlunya mengkaji capaian penerapan peta jalan itu setiap dua kali satu tahun guna memastikan semua berjalan sesuai dengan yang ditargetnya. Sepintas lalu, Dipo Alam juga menyebut mengenai peluang pembentukan kawasan pasar bebas Indonesia-Turki.

Pada kesempatan itu mantan Deputi Menko Perekonomian itu juga menyebut mengenai keinginan Presiden Yudhoyono mendorong kebangkitan sepakbola nasional.

"Ide pertama memang berasal dari Presiden Yudhoyono yang menginginkan supaya PSSI berkembang, dan sebenarnya masyarakat Indonesia tahu nama-nama seperti Hakan Sukur, Hamit Altintop atau Galatasaray Turki, tapi ya hanya melihat di televisi belum melihat permainan sebenarnya di stadion-stadion," katanya.

Ia menyambut baik ide Presiden Yudhoyono tersebut karena menurutnya olahraga, terutama sepakbola, merupakan salah satu media utama untuk mendekatkan kedua negara.

"Saya bertemu dengan Fatih Terim (mantan pelatih kesebelasan nasional Turki), dan memang yang kita inginkan tidak hanya terbatas kita mengundang dia saja, yang kita inginkan dari Fatih Terim tidak hanya teknis, tetapi perubahan totalitas perilaku dan sistem, baik pemain, penonton maupun manajemen," katanya.

Oleh karena itu, selain mengundang Fatih Terim hendaknya juga diselenggarakan sebuah Liga Sepakbola Indonesia-Turki agar para pemain Indonesia memiliki tolok ukur yang lebih baik serta membuka peluang terjadinya interaksi yang lebih luas antara masyarakat Indonesia dengan Turki dan peluang bisnis.

"Tim sepakbola Indonesia (juga) bisa bertanding dengan Turki walaupun pada mulanya tim Indonesia kalah besar dan hanya terjadi all Turki final namun di tahun-tahun berikutnya pasti bisa Indonesia dan Turki di final," katanya. Ia mengatakan bahwa saat ini telah ada sejumlah pengusaha Indonesia yang berminat mendanai rencana itu.

Dipo Alam menutup obrolan seputar Indonesia-Turki itu dengan menunjukkan sejumlah fotonya dengan PM Erdogan, Presiden Gul, Fatih Terim dan sejumlah tokoh Turki lainnya.

Seusai menyeruput minuman yang terabaikan dalam percakapan tersebut, pria yang dua kali didapuk sebagai Sekjen D-8 itu bangkit dari kursinya dan mengantar tamu-tamunya ke pintu mengingat jam di dinding telah menunjukkan pukul 21.45 wib dan ia harus mendampingi Presiden Yudhoyono melakukan kunjungan kerja ke Papua Minggu (21/11) pagi.
(G003/T010)

Oleh Gusti Nc Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010