Medan (ANTARA News) - Diperkirakan bayi lahir dengan kondisi bisu mencapai 30 jiwa dari sekitar 10 juta penduduk di Sumatera Utara yang disebabkan adanya gangguan pendengaran pada masa sebelum lahir dan setelah lahir.
"Di Medan sendiri, dari 4 ribu bayi yang lahir perbulannya, 8 bayi dalam kondisi bisu dan tuli. Berarti, di Sumut bisa saja mencapai 30 jiwa perbulannya bayi lahir bisu," kata Ketua Komite Daerah Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Sumatera Utara, dr Delfitri Munir, di Medan, Minggu.
Untuk itu, lanjutnya, perlu dilakukan antisipasi untuk mengurangi bayi lahir dalam kondisi bisu dan tuli, bahkan meniadakannya melalui pencanangan Medan Bebas Tuli pada bayi yang akan dilakukan Senin (22/11) di Dinas Kesehatan Kota Medan.
Pencanangan yang nantinya akan dikomandoi oleh Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) Sumut itu akan dihadiri seluruh Kepala Rumah Sakit di Medan yang menangani persalinan.
Ia mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan pendengaran bayi terganggu yang kemudian mengakibatkan bisu dan tuli yakni akibat faktor genetik dan non genetik.
"Anak dan orangtua menderita tuli keturunan juga beresiko menderita gangguan pendengaran. Selain itu penyebab gangguan pendengaran sebelum lahir non genetik terjadi pada masa kehamilan terutama pada tiga bulan pertama kehamilan," katanya.
Ia mengimbau agar orangtua mendeteksi pendengaran bayi baru lahir sejak dini dengan alat bantu skrining yang idealnya dilakukan pada usia dua hari atau sebelum bayi berusia dua bulan .Sebab bila ditangani sejak dini, anak yang memiliki gejala bisu dan tuli bisa diatas bahkan bisa berbicara mendekati orang normal.
"Kalau sudah lahir, jangan langsung dibawa pulang tapi dideteksi dulu pendengarannya. Apalagi bayi yang tidurnya nyenyak, itulah salah satu gejala anak menderita tuli dan bisu.
"Selama ini orang tua baru mengetahui kalau anaknya bisu dan tuli setelah anaknya berusaia 3-4 tahun. Padahal itu terlambat, kalaupun ditangani hasilnya tidak sesuai harapan," katanya.
Selain itu, bayi yang pendengarannya terganggu dapat diatasi dengan diagnosis pasti dan habilitasi (intervensi) dengan alat tes Oto Acoustic Emission (OAE). Bila masih ada kelainan maka dilanjutkan dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry).
"Tapi begitupun, kita sangat berharap mendapat dukungan dari Pemko Medan. Paling tidak menganggarkan pengadaan alat tes deteksi seperti skrining dan alat bantu dengar di Jamkesda, sebab tanpa bantuan Pemko, kita tidak bisa berbuat lebih," katanya. (JRD/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010