Hasil eksaminasi terungkap beberapa hal yang bisa dijadikan alat bukti baru untuk mengajukan peninjauan kembali

Bengkulu (ANTARA) - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu JT Pareke menilai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang menjadi dasar dikeluarkannya izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bengkulu cacat hukum.

Pembangunan PLTU berkekuatan 2x100 megawatt itu, kata Pareke, di Bengkulu, Minggu, telah melanggar dua peraturan daerah (perda), yakni Perda Provinsi Bengkulu Nomor 2 Tahun 2012 dan Perda Kota Bengkulu Nomor 14 Tahun 2012 yang sama-sama mengatur tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Regulasi itu menyebutkan jika lokasi tempat berdirinya PLTU tersebut saat ini yakni di kawasan Teluk Sepang, Kota Bengkulu tidak diperuntukkan untuk pendirian pembangkit listrik.

Kemudian, tempat berdirinya PLTU itu masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang, Pulau Baai dan daerah Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu termasuk daerah rawan bencana tsunami.

"Pasal 4 ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebut dalam hal lokasi rencana usaha tidak sesuai RTRW, maka dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan," kata Pareke dalam kegiatan eksaminasi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bengkulu Nomor 112/LH/G/2019.BKL yang diadakan Komunitas Paralegal Universitas Bengkulu (Unib).

Pareke menilai putusan majelis hakim menolak gugatan yang dilayangkan Tim Advokasi Langit Biru (TALB) mengenai izin PLTU Bengkulu tersebut, mengabaikan fakta tentang adanya pelanggaran administrasi dalam penerbitan Amdal.

Dalam amar putusannya, kata Pareke, majelis hakim justru menjadikan Pasal 114 A PP Nomor 13 Tahun 2017 yang menyebut proyek strategis nasional didasarkan atau sesuai pada RTRW nasional.

Selain itu, pembangunan PLTU juga telah mendapat rekomendasi RTRW berdasarkan Surat Kepala Bappeda Provinsi Bengkulu Nomor 650/0408/Bapeda tanggal 3 Mei 2019.

"Pertanyaan yang sederhana apakah rekomendasi yang berdasarkan UU 12 Tahun 2012 tidak masuk menjadi tata urutan perundang-undangan bisa mengakali Peraturan Daerah tentang RTRW provinsi maupun Kota Bengkulu," kata Pareke menegaskan.

Kegiatan eksaminasi yang digelar secara daring dan tatap muka ini, juga menghadirkan beberapa pembicara lain, di antaranya Rocky Gerung, pakar hukum administrasi Unib Endra Satmiadi.

Ketua Kajian dan Advokasi Paralegal Bengkulu M Fahmi Alip mengatakan, meskipun majelis hakim PTUN Bengkulu memenangkan pihak tergugat terkait gugatan izin lingkungan pembangunan PLTU Bengkulu, namun upaya hukum lainnya tetap bisa dilakukan.

Apalagi, kata dia, berdasarkan hasil eksaminasi terungkap beberapa hal yang bisa dijadikan alat bukti baru untuk mengajukan peninjauan kembali, terutama hal-hal yang dikesampingkan oleh majelis hakim.

"Hakim idealnya juga harus melihat yang bertujuan untuk menggali lebih dalam permasalahan sesuai dengan kondisi objektif masyarakat terkait proses pembangunan PLTU itu. Termasuk juga dampak keberadaan PLTU itu menyebabkan penurunan kualitas udara, air laut, dan rusaknya fungsi ekologis," demikian Fahmi.
Baca juga: Aktivis dukung Gubernur Bengkulu tak keluarkan izin operasi PLTU
Baca juga: Pegiat lingkungan-nelayan bentangkan spanduk di PLTUB Bengkulu

Pewarta: Carminanda
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021