Kupang (ANTARA News) - Pengamat hukum dan antropologi sosial dari Universitas Nusa Cendana Kupang Dr Karolus Kopong Medan SH.MHum menilai reformasi di tubuh Polri masih berjalan setengah hati, sehingga mudah tergoda dengan uang seperti dalam kasus Gayus Tambunan.
"Reformasi yang selama ini dikumandangkan Polri masih berjalan setengah hati sehingga belum membawa perubahan terhadap perilaku oknum anggota Polri dalam menjalankan tugas pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat," kata Kopong Medan di Kupang, Jumat.
Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan hal itu menanggapi upaya reformasi di tubuh Polri terkait dengan kaburnya tersangka kasus korupsi Gayus Tambunan dari tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat.
Kopong Medan yang juga peneliti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tingkat daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, mengatakan maraknya berbagai kasus besar yang kemudian menyeret sejumlah pejabat Polri ke lingkaran permainan tersebut, menunjukkan bahwa reformasi di tubuh Polri masih berjalan setengah hati.
Ia menjelaskan konsep reformasi yang selama ini didesain untuk mereformasi Polri, terutama berkenaan dengan aspek struktural, performans dan budaya kepolisian belum memberikan implikasi yang memadai kepada perubahan perilaku aparat kepolisian.
"Masih banyak aparat kepolisian yang diduga terlibat dalam kasus suap, kriminalitas, konspirasi atau persekongkolan jahat, perlakuan dikskriminatif dalam pelayanan kepada masyarakat, meloloskan penjahat dari jeratan hukum, dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh kasus yang mencoreng citra Polri," katanya.
Ia menambahkan lolosnya aktor mafia pajak Gayus Tambunan yang bebas keluar-masuk Rutan Markas Komando Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, menunjukkan bahwa reformasi internal Polri perlu lebih serius dan lebih ditingkatkan.
"Lolosnya Gayus Tambunan ke Singapura, kemudian setelah ditangkap dan masuk penjara kemudian sengaja diloloskan untuk pelesiran di Bali, sesungguhnya secara kasat mata orang tetap berkeyakinan akan adanya konspirasi jahat antara aparat kepolisian dengan para tahanan," katanya.
"Mana mungkin seorang Gayus yang dikurung dalam ruang tahanan sempit dan terkunci bisa lolos keluar menghirup udara bebas di luar kalau tidak ada konspirasi untuk itu. Sehebat apa pun Gayus mengibuli aparat kepolisian, tetapi tetap saja orang akan membaca adanya konspirasi," tambahnya.
Kejadian tersebut, kata Kopong Medan, sungguh memalukan dan justru sangat menurunkan wibawa institusi kepolisian di mata masyarakat.
"Bukan soal ada suap atau tidak dalam kasus Gayus ini, tapi yang paling penting telah terjadi konspirasi jahat yang sungguh-sungguh memalukan dan justru membuat gerakan reformasi di tubuh Polri menjadi tidak bermakna apa-apa," katanya.
"Kalau kita ingin agar reformasi di tubuh Polri itu benar-benar menukik sampai pada perubahan perilaku aparat kepolisian, maka dibutuhkan ketegasan, konsistensi dan transparansi dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan aparat kepolisian," katanya menegaskan.
Menurut dia, jika ada aparat kepolisian bahkan petinggi Polri sekalipun yang teridikasi terlibat dalam kasus tindak pidana, jangan segan-segan untuk memrosesnya, dan jangan memberi kesan ada upaya untuk melindungi pihak-pihak tertentu.
"Tanpa ada upaya ke arah perubahan perilaku aparat kepolisian, saya kira kita tidak perlu bicara lagi soal reformasi Polri. Karena, reformasi Polri yang sesungguhnya adalah perubahan perilaku atau perubahan sikap dan tindak aparat kepolisian," katanya.
Menurut dia, dibalik kasus ini, ada persoalan lain yang lebih besar yang menyangkut lembaga penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan yang sejak reformasi 1998 hingga saat ini belum berhasil dibenahi. (ANT-084/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010
Maling ayam saja ditindak tegas, lah ini aparatnya, atas pelanggaran tersebut mestinya ada tindakan yang tegas juga. Bagi petinggi terkait jika tidak dapat berpikir (mencari solusi), atau lemot bertindak, kita maklumi..karena negara kita negara toleransi. Mari lebih bijaksana. Jaya Indonesi