“Indonesia berkomitmen untuk memperbaiki daya saing dan iklim investasi melalui reformasi struktural dengan menggabungkan 76 aturan menjadi satu melalui sistem Omnibus Law dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata Menko Airlangga saat menyampaikan keynote speech dalam webinar, Jumat.
Airlangga menyampaikan UU Cipta Kerja merupakan sebuah aturan yang menyederhanakan prosedur perizinan bisnis, menyediakan perlindungan lingkungan yang lebih baik, serta membuat perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan yang sudah ada. UU Cipta Kerja juga diakui oleh Bank Dunia sebagai program reformasi ekonomi yang sangat positif yang pernah diciptakan Indonesia dalam 4 dekade terakhir.
Untuk melengkapi implementasi UU Cipta Kerja tersebut, pendaftaran digital dan prosedur perizinan juga dibuat lebih mudah dengan diluncurkannya versi OSS terbaru yang dibangun berdasarkan Risk Based Approach (RBA) dan dari Daftar Negatif Investasi (DNI) menjadi Daftar Positif Investasi (DPI).
“Dalam sistem ini, jenis perizinan akan disesuaikan berdasarkan level risiko masing-masing usaha. Misalnya prosedur perizinan UMKM berbeda dengan bisnis besar,” ujarnya.
Baca juga: Menko Airlangga kunjungi Kalsel pantau penanganan pandemi COVID-19
Untuk UMKM ataupun bisnis lain yang berisiko rendah di sektor swasta hanya membutuhan Nomor Induk Berusaha (NIB) dari OSS untuk mulai bisnis, sedangkan usaha dengan risiko menengah diperlukan tambahan Sertifikat Standar. Semua perizinan diberikan dalam sebuah sistem OSS terintegrasi, sehingga prosesnya sangat transparan, lebih mudah, cepat, dan kredibel.
Lebih lanjut Airlangga menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen mengimplementasikan dan mengawasi pelaksanaan OSS versi baru ke depannya. Hal itu karena OSS merupakan salah satu instrumen penting untuk menarik investasi lebih besar lagi ke dalam negeri.
“Kami berharap dengan diluncurkannya OSS berbasis risiko akan meningkatkan iklim investasi dan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Jika investasi meningkat pada ujungnya diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas juga,” jelas Airlangga.
Adapun pemerintah telah mengeluarkan Daftar Prioritas Investasi (DPI) dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Aturan tersebut berisi tentang DPI yang fokus memberikan daftar lapangan usaha atau bisnis prioritas, termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN), teknologi terkini, industri perintis, industri berorientasi ekspor, serta penelitian dan pengembangan.
Baca juga: Menko optimis pertumbuhan ekonomi 2021 capai 3,7 persen
Investor yang berinvestasi dalam sektor prioritas akan mendapatkan insentif fiskal dan non fiskal. Dari sisi fiskal, insentif dapat berupa investment allowance, super deduksi, atau pembebasan bea masuk. Sedangkan, dari sisi non fiskal berupa kemudahan perizinan bisnis atau usaha, kemudahan perizinan untuk implementasi kegiatan usaha, disediakan infrastruktur pendukung usaha, serta diberikan jaminan untuk ketersediaan bahan bakar atau energi dan bahan baku mentah.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga mendirikan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) untuk meningkatkan, memprioritaskan, dan mengoptimalkan investasi jangka panjang yang akan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan.
“Pemerintah sudah mengalokasikan 1 miliar dolar AS di 2020 sebagai modal awal LPI dan akan menambah sebesar 4 miliar dolar AS di tahun ini untuk mengoptimalkan peran LPI. Saat ini, juga ada Sovereign Wealth Fundsekitar 3 miliar dolar AS dari tiga negara yaitu Belanda, Kanada, dan Uni Emirat Arab (yang sudah masuk ke LPI),” tutur Airlangga.
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021