Alasan yang pertama adalah tidak ada urgensi atau kondisi darurat yang mengharuskan UUD 1945 di-amendemen.
"Jadi apa urgensinya memang belum ada urgensi yang sangat tinggi. Kan ada derajat normal, ada derajat tinggi, ada derajat mendesak. Bahkan ujung-ujungnya ada dalam keadaan darurat. Kalau darurat, tidaklah. Mendesak pun memang dipertanyakan. Itu juga dipertanyakan orang apa sih urgensinya kita harus mengubah undang-undang dasar," kata Asep Warlan ketika dihubungi wartawan, Jumat.
Asep menilai pembahasan amendemen UUD 1945 jika dilakukan dalam waktu dekat ini secara pemilihan waktu sangat tidak tepat.
Menurut dia, urgensi saat ini yang harus diselesaikan adalah bagaimana mengatasi kondisi ekonomi dan kesehatan yang tengah terpuruk akibat pandemi COVID-19.
"Hemat saya dari substansi memang kita masih bisa perdebatkan perlunya ada GBHN, secara timing atau waktu tidak pas. Kenapa tidak pas Karena urgensi sekarang ini adalah bagaimana mengatasi ekonomi yang sedang terpuruk," kata dia.
Baca juga: F-Golkar nilai rencana amendemen UUD 1945 tidak tepat saat pandemi
Walaupun ada tujuh persen orang bilang itu kan sekedar angka namun masyarakat sekarang sedang berat dan yang kedua sedang menangani pandemi COVID-19.
"Kalau kita bicara COVID-19 berarti memerlukan konsentrasi dari semua lembaga lembaga negara, agar kita lepas merdeka dari covid ini," kata Asep.
Alasan yang kedua, menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan ini adalah tidak ada jaminan untuk tidak akan melebar dan meluas kemana-mana.
Asep menilai pembahasan amandemen UUD 1945 ini bisa menjadi pintu masuk wacana tentang masa jabatan presiden menjadi tiga periode seperti yang sudah santer di publik saat ini.
"Dan jangan-jangan ini pintu masuk mereka untuk nanti melebar juga ke sana. Tidak ada jaminan kita makan bersama hari ini besok jadi lawan dalam politik mah. Jadi hari ini mengatakan bahwa ini yang diubah itu TAP MPR, besok lusa di MPR berubah sekalian saja dengan masa jabatan presiden jadi 3 periode, bisa jadi melebar," ujarnya.
Kemudian alasan yang ketiga adalah bisa melemahkan sistem presidensial.
Wacana pembahasan amendemen UUD 1945 yang memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dinilai akan melemahkan posisi presiden karena adanya haluan negara yang ditetapkan di pundak presiden tapi dikontrol ketat oleh parlemen (MPR, DPR, dan DPD).
Baca juga: Ketua MPR: Hasil kajian PPHN diharapkan selesai awal tahun 2022
"Jika seandainya dia masih tidak berubah strukturnya bisa menjadi melemahkan presidensial. Hal ini bisa melemahkan sisi presidensial atau paling tidak akan mengubah kriteria karateristik presidensial yang kita anut dalam Undang-Undang Dasar," katanya.
Terkait pembahasan PPHN, Asep menyarankan apabila Ketua MPR bersikeras ingin memasukkan haluan negara sebaiknya tetap menggunakan UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Menurutnya, jika UU tersebut masih memiliki kekurangan, sebaiknya ubah saja UU tersebut dibanding harus mengamendemen UUD 1945.
“Ada konsekuensi, ketika dulu ada GBHN itu kan Presiden sebagai mandataris, maka letaknya posisi struktur ketatanegaraannya MPR paling atas lembaga tertinggi," kata dia.
"Nah itu sekarang dia membuat PPHN tapi yang sederajat dengan pemerintah, walaupun ini sebenarnya multifungsi, tapi orang lihat kan akan dipersoalkan rujukan hukumnya ketika dia membuat PPHN itu yang dilaksanakan oleh Presiden. Apa bedanya dengan undang-undang kalau begitu," lanjutnya.
Hal tersebut merupakan kompleksitas ketatanegaraan sehingga, menurut Asep Warlan, MPR seharusnya menyiapkan saja dulu rencana tersebut jangan sekarang dilakukan sekarang.
"Konsep-konsepnya substansinya seperti, apa mau dibawa kemana negara ini kalau GBHN, nanti misalnya pada saat Pemilu berikutnya diserahkan kepada MPR yang akan datang mudah-mudahan suasananya lebih tenang lebih kondusif. Jangan sekarang,” kata Asep.
Baca juga: Hamdan Zoelva sebut tiga hal yang perlu dijawab terkait amendemen UUD
Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021