Ada banyak negara dengan cakupan vaksinasi yang sangat rendah, bahkan di bawah dua persen

Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Lutfiyah Hanim berharap negara-negara G20 bisa mendorong akses vaksin COVID-19 yang berkeadilan.

Lutfiyah menyebut 15 bulan sejak para kepala negara dunia menyatakan komitmennya untuk mengakselerasi peningkatan akses vaksin dan pengobatan COVID-19 yang berkualitas, namun hal sebaliknya yang terjadi.

"Ini gambaran 15 bulan setelah pernyataan dibuat. Apa yang terjadi? Ketidakadilan akses atas vaksin. Gambaran serupa juga terjadi pada pengobatan dan penanganan COVID-19," katanya dalam webinar bertajuk "Mewujudkan Akses Vaksin COVID-19 yang Terjangkau Bagi Seluruh Warga", Kamis.

Lutfiyah mencatat ada banyak negara dengan cakupan vaksinasi yang sangat rendah, bahkan di bawah dua persen. Negara-negara tersebut di antaranya Kenya, Afghanistan, Irak, Algeria, Uganda dan beberapa negara di Afrika lainnya.

"Walaupun penduduknya tidak besar, tapi akses vaksinnya di bawah tiga persen. Tentu untuk menuju herd immunity masih lama," katanya.

Di Indonesia, meski akses vaksin cukup memadai, Lutfiyah menyebut akses untuk pengobatan dan penanganan sangat terbatas.

"Memang tidak tercatat soal obat yang terbatas. Tapi, kita bisa lihat saat gelombang kedua datang di Indonesia, pemerintah sampai charter pesawat untuk bawa dan beli obat mahal itu ke Indonesia," katanya.

Menurut Lutfiyah, ketidakadilan akses vaksin dan pengobatan COVID-19 itu menyebabkan Afrika Selatan dan India mengusulkan trade related aspects of intellectual property rights (TRIPs) waiver.

Melalui usulan tersebut, kedua negara mengajukan usulan ke WTO agar seluruh negara di organisasi itu bisa mendapatkan waiver atau pengabaian untuk tidak menerapkan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) sementara atas produk penanganan pandemi. Produk itu termasuk obat, vaksin dan alat penanganan COVID-19.

Menurut Lutfiyah, dengan waiver tersebut, maka ada kesempatan bagi negara lain untuk bisa memproduksi, atau bisa mendapat suplai vaksin tanpa khawatir terkena pelanggaran HAKI.

"Vaksin dan obat kan dilindungi hak paten dan HAKI lainnya, agar mudah, ini di-waive beberapa saat selama pandemi. Karena banyak alat medis seperti obat dilindungi perangkat HAKI, tidak hanya satu," katanya.

Lutfiyah yang juga Anggota Vaccine Access & Global Health Working Group C20 Indonesia itu menjelaskan TRIPs waiver sudah banyak didukung sejumlah negara.

Namun, proposal tersebut masih dibahas meski lantaran banyak negara maju di Uni Eropa yang tidak setuju, bahkan enggan untuk melakukan negosiasi.

"Keterlambatan keputusan ini akan berkontribusi pada peningkatan korban jiwa di negara-negara yang masih mengalami pandemi. Negara berkembang dan kurang berkembang jadi yang paling berat menanggung beban krisis kesehatan dan ekonomi," katanya.

Oleh karena itu, Lutfiyah mengharapkan peran negara-negara G20 di bawah kepemimpinan Indonesia saat penyelenggaraan KTT G20 pada 2022 mendatang.

Kesepakatan dalam pertemuan G20 dinilai punya kekuatan besar untuk bisa mendorong akses vaksin yang berkeadilan di tengah pandemi.

"Pertanyaannya G20 bisa apa dengan situasi sekarang ini? Negara G20 juga beberapa di antaranya banyak yang tolak membahas TRIPs waiver ini," pungkasnya.

Baca juga: Infid: KTT G20 diharapkan perluas akses vaksin bagi warga Indonesia
Baca juga: Indonesia agendakan tiga isu prioritas untuk Presidensi G20 2022
Baca juga: Di forum G20, Menteri ESDM paparkan langkah RI menuju ekonomi hijau

Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021