"Saat ini kami coba untuk mengalokasikan pembangunan pengolahan limbah medis yang skala besar di tempat-tempat yang memerlukan seperti di wilayah timur," ujar Direktur Penilaian Kerja dan Pengelolaan Limbah B3 dan Non-B3 KLHK Sinta Saptarina dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9, dipantau virtual dari Jakarta pada Kamis.
Menurut Sinta, jasa pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti limbah medis sendiri mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: KLHK terus lakukan intervensi tangani limbah medis COVID-19
"Memang kendalanya adalah penyebarannya tidak merata, mayoritas masih di Jawa," jelasnya.
Berdasarkan data KLHK sampai dengan Agustus 2021 terdapat 42 unit fasilitas jasa pengolahan yang sebagian besar berada di Pulau Jawa. Rinciannya adalah Jawa Barat, 17 unit, Banten 11 unit, Jawa Tengah 5 unit, Jawa Timur 2 unit, Sumatera Utara dan Kepulauan Riau masing-masing 1 unit, Kalimantan Timur 2 unit dan Sulawesi Selatan 3 unit.
Untuk mencapai pemerataan, KLHK sejak 2019 sampai saat ini sudah membantu pembangunan sebanyak 10 unit insinerator berkapasitas pembakaran 150 kg/jam dan 300 kg/jam di Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Kalimantan Selatan.
"Kami coba ada Dana Alokasi Khusus (DAK) yang kami coba tawarkan kepada kabupaten/kota untuk bisa pengadaan depo, kendaraan roda tiga atau empat untuk mengambil limbah medis dari isolasi mandiri," jelas Sinta.
Dalam penanganan limbah medis KLHK juga memberikan relaksasi penggunaan kepada rumah sakit yang sudah memiliki insinerator dalam proses perizinan untuk dapat digunakan dalam pemusnahan limbah dan meminta bantuan industri semen dengan saat ini terdapat sekitar 12 pabrik semen yang bersedia membantu pemusnahan.
Baca juga: Pemerintah dorong implementasi ide kelola sampah oleh generasi muda
Baca juga: Menteri LHK apresiasi kontribusi pemuda dalam isu adaptasi lingkungan
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021