Syarat modal minimum disetor Rp10 triliun ini hanya berlaku bagi pendirian bank BHI baru setelah POJK ini berlaku

Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menambah persyaratan modal menjadi sebesar Rp10 triliun untuk pendirian bank baru yang berbadan hukum Indonesia (BHI) termasuk untuk bank tradisional maupun bank yang beroperasi dengan cara digital (full digital).

"Penguatan aturan kelembagaan antara lain juga dilakukan dengan peningkatan persyaratan modal menjadi sebesar Rp10 triliun untuk pendirian bank baru," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis.

Kenaikan modal mininum pendirian bank baru tersebut tercantum dalam Peraturan OJK No 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.
​​​
Namun, syarat modal minimum disetor Rp10 triliun ini hanya berlaku bagi pendirian bank BHI baru setelah POJK ini berlaku.

Pengaturan modal minimum tersebut tidak berlaku bagi bank BHI yang sudah terbentuk sebelum POJK ini berlaku. Sebelumnya, syarat modal mendirikan bank baru adalah Rp3 triliun.

Heru mengatakan kenaikan syarat modal untuk pendirian bank baru merupakan bentuk penguatan kelembagaan bank.

Selain modal minimum bank, OJK juga mengeluarkan ketentuan baru dalam POJK No 12 mengenai aspek operasional perbankan seperti penyederhanaan dan percepatan perizinan pendirian bank, jaringan kantor, layanan digital, pendirian bank digital, sampai dengan pengakhiran usaha.

"Pandemi telah mendorong transformasi digital di sektor perbankan menjadi suatu keniscayaan. Kondisi demikian mengharuskan perbankan untuk menempatkan transformasi digital sebagai prioritas dan sebagai salah satu strategi dalam upaya peningkatan daya saing bank," ujar Heru.

Di POJK tentang Bank Umum ini, OJK juga mempertegas pengertian bank digital yaitu bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus full digital banking.

OJK sebagai regulator industri jasa keuangan juga menegaskan pihaknya tidak mendikotomikan atau memisahkan antara bank yang telah memiliki layanan digital, bank digital hasil transformasi dari bank incumbent, ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru (full digital bank)

"Bagaimanapun bank tetaplah bank, bank is bank," ujar Heru.

Heru juga menjelaskan bahwa ketentuan di POJK ini sama sekali tidak memberikan tambahan beban pengaturan baru kepada bank.

Justru, kata dia, OJK ingin mengatur dan mengawasi bank dalam melakukan transformasi dan akselerasi digital, penyederhanaan dan efisiensi jaringan kantor, serta memberikan kesempatan bagi bank khususnya bank berbadan hukum Indonesia untuk saling bersinergi dalam rangka peningkatan efisiensi dan perluasan layanan.

Untuk kebijakan sinergi perbankan dalam POJK Bank Umum ini, kata Heru, bertujuan untuk mendukung efisiensi dan optimalisasi sumber daya bank dan lembaga jasa keuangan lain dalam kelompok usaha bank (KUB).

"Harapannya, konsolidasi perbankan dengan membentuk KUB dapat menjadi pilihan yang menguntungkan bagi bank, termasuk bank yang masih belum memenuhi modal inti minimum Rp3 triliun," ujarnya.

Selanjutnya, untuk mendukung terlaksananya implementasi pengaturan secara efektif dan pengawasan yang lebih efisien, dalam POJK ini telah dilakukan redefinisi pengelompokan bank.

Baca juga: OJK permudah izin produk baru bank melalui POJK 13
Baca juga: OJK susun aturan syarat modal minimum bank digital Rp10 triliun
Baca juga: OJK: 240 BPR "angkat tangan" penuhi syarat minimum modal

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021