Pemerintah diharapkan dapat menjaga komitmen untuk mengembalikan disiplin fiskal, meskipun ketidakpastian akibat pandemi masih sangat tinggi.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menurunkan defisit dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 menjadi 4,85 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau senilai Rp868 triliun.
Penurunan defisit telah dilakukan secara bertahap, setelah mulai dilebarkan pada 2020 untuk kebutuhan penanganan COVID-19 menjadi 6,14 persen PDB atau Rp947,7 triliun.
Untuk tahun 2021, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan defisit anggaran akan mencapai 5,82 persen dari PDB atau Rp961,5 triliun.
Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) sempat mengingatkan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan untuk mengembalikan rasio defisit fiskal menjadi 3 persen pada 2023.
Karena itu, lembaga tersebut memproyeksikan konsolidasi fiskal di Tanah Air akan berjalan secara gradual, dengan defisit yang menyempit menjadi 5,7 persen pada 2021 dan 4,2 persen pada 2022.
"Pemerintah diharapkan dapat menjaga komitmen untuk mengembalikan disiplin fiskal, meskipun ketidakpastian akibat pandemi masih sangat tinggi," sebut S&P.
Baca juga: Ekonom: Indonesia perlu tarik investasi untuk jaga defisit APBN 2022
Sejak pandemi COVID-19 melanda, defisit APBN memang harus dilebarkan untuk menyelamatkan jutaan rakyat Indonesia, namun tentunya keadaan tersebut hanya bersifat sementara mengingat keuangan negara harus kembali sehat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, pelebaran defisit APBN hanya diperbolehkan selama tiga tahun berturut-turut, sehingga pada 2023 defisit anggaran harus kembali ke level di bawah tiga persen dari PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menargetkan defisit APBN pada 2023 turun menjadi 2,7 persen-2,97 persen terhadap PDB atau sebesar Rp524 triliun hingga Rp589,15 triliun.
Penurunan target tersebut dilakukan agar APBN bisa lebih sehat dan mampu mendukung pemulihan ekonomi secara berkelanjutan.
Tak hanya Indonesia, berbagai negara di dunia pun saat ini mulai terus menyehatkan keuangan negara masing-masing setelah bekerja keras melawan pandemi.
Penurunan defisit APBN kembali ke level tiga persen tentunya bukan hal yang sulit bagi Indonesia, mengingat rasio defisit anggaran yang masih tergolong kecil jika dibanding banyak negara ASEAN maupun anggota G20.
Sebut saja negara tetangga, Malaysia yang melebarkan defisit anggarannya menjadi 6,5 persen pada 2020, kemudian Filipina sebesar 8,1 persen, India 13,1 persen, Jerman 8,2 persen, Perancis 10,8 persen, dan bahkan Amerika Serikat mencapai 18,7 persen dari PDB.
Baca juga: Ekonom: Defisit anggaran 4,85 persen RAPBN 2022 realistis
Untuk menyehatkan kembali keuangan negara, Sri Mulyani mengungkapkan setidaknya terdapat tiga reformasi yang harus dilakukan.
Pertama, mengevaluasi belanja negara atau dengan melakukan spending better, sehingga pada tahun 2022 belanja pemerintah akan lebih difokuskan pada upaya percepatan pemulihan serta mendukung penguatan reformasi struktural dalam rangka menata kembali fondasi ekonomi.
Hal tersebut terutama pada aspek peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dukungan belanja pada sektor kesehatan dan pendidikan, serta upaya mendorong terciptanya lapangan kerja berkualitas.
Maka dari itu, belanja negara masih dirancang untuk dapat responsif sekaligus konsolidatif pada tahun depan, mengingat ketentuan batas defisit APBN akan mulai dikonsolidasikan ulang mulai tahun ini.
Dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2022, belanja negara direncanakan sebesar Rp2,708,7 triliun, menurun dibandingkan dengan APBN 2021 yang sebesar Rp2.750 triliun.
Rencana belanja tersebut terdiri atas belanja kementerian/lembaga (k/l) sebesar Rp940.571,3 miliar dan belanja non k/l sebesar Rp997.694,8 miliar, serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp770.413,5 miliar.
Baca juga: Ekonom: Penurunan target defisit 2022 tunjukkan komitmen pemerintah
Selanjutnya, langkah kedua reformasi untuk menyehatkan keuangan negara yakni pembiayaan negara yang makin inovatif, melalui penguatan peran badan usaha milik negara (BUMN), badan layanan umum (BLU), Lembaga Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF), dan Special Mission Vehicle (SMV).
Pembiayaan yang inovatif tersebut di antaranya untuk percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan akses pembiayaan dan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), serta untuk meningkatkan kualitas dan daya saing SDM.
Langkah ketiga menyehatkan kembali APBN adalah peningkatan pendapatan negara terutama di bidang pajak, yang merupakan salah satu kunci penting bagi konsolidasi dan penyehatan APBN. "Oleh karena itu reformasi di bidang pajak dan perpajakan menjadi penting," ujar Sri Mulyani.
Dengan reformasi di bidang perpajakan, pendapatan negara direncanakan naik pada 2022 menjadi Rp1.840,7 triliun, dari yang sebelumnya Rp1.743,6 triliun dalam APBN 2021.
Target pendapatan negara pada tahun depan tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1.506,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp333,2 triliun, dan penerimaan hibah Rp600 miliar.
Tak terpaku pada penurunan defisit APBN
Penurunan defisit APBN bertujuan untuk melanjutkan proses konsolidasi fiskal yang merupakan upaya untuk pendisiplinan fiskal dalam rangka menjaga keberlanjutan fiskal jangka menengah-panjang.
Namun demikian, konsolidasi fiskal tetap harus menjaga keseimbangan antara penguatan countercyclical untuk akselerasi pemulihan dengan pengendalian risiko untuk memelihara keberlanjutan fiskal jangka menengah-panjang.
Konsolidasi fiskal yang dibarengi dengan reformasi struktural diharapkan akan mendorong kembali trajektori pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 persen, sehingga peningkatan utang saat ini dapat menjadi leverage pertumbuhan di masa mendatang.
Baca juga: Ekonom: Asumsi ekonomi tumbuh 5-5,5 persen lebih realistis
Ekonom Senior Center Of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyarankan kepada pemerintah, untuk tidak terlalu terpaku pada upaya mendorong penurunan defisit anggaran, khususnya pada tahun depan.
Kebijakan fiskal harus dioptimalkan ke titik yang semaksimal mungkin untuk mengakomodir cara untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di tahun 2022.
Dalam pidato penyampaian RUU APBN tahun anggaran 2022 dan Nota Keuangan, Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada rentang 5 persen sampai 5,5 persen pada tahun 2022, dan pemerintah akan berusaha maksimal mencapai target pertumbuhan di batas atas.
Kendati demikian, pemerintah tetap akan waspada mengingat perkembangan COVID-19 masih akan sangat dinamis, sehingga seluruh sumber daya, analisis ilmiah, dan pandangan ahli akan digunakan untuk terus mengendalikan pandemi.
Menurut Yusuf, dinamika pertumbuhan ekonomi pada tahun depan memang masih akan dibayangi oleh beragam isu, namun jika pemerintah dapat memitigasi beragam isu tersebut, target pertumbuhan ekonomi yang disasar pemerintah masih memungkinkan untuk dicapai.
Salah satu isu yang harus diperhatikan tentunya bagaimana penanggulangan pandemi oleh pemerintah, misalnya vaksinasi yang harus digiatkan hingga kapasitas testing, tracing, dan isolasi dari pemerintah yang relatif masih rendah.
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021