Gorontalo (ANTARA News) - Semua yang hadir menahan napas sejenak, ketika isi dalam kotak-kotak kayu itu mulai ditumpahkan satu persatu di atas lantai masjid.

Uang-uang kertas yang berjatuhan dari sana, ditumpuk menjadi satu, mulai dari nominal terkecil hingga terbesar. Beberapa orang di antaranya mulai menghitung jumlah yang terkumpul.

Benda segi empat dari bahan kayu itu dinamakan `kotak rahasia`, sejenis tabungan yang ditujukan untuk satu niat, yakni membeli hewan kurban. Adapun jumlah hewan yang akan disembelih nanti tergantung dari uang yang terkumpul.

Sejak satu tahun yang lalu, kotak-kotak yang sengaja dicat dengan warna seragam, disebar pada 36 orang anggota yang sebelumnya telah sepakat akan berkurban dengan cara seperti itu. Tak boleh ada nama orang yang berkurban tercantum di sana.

Uniknya dalam kelompok ini, tidak ada jumlah nominal yang ditentukan bagi setiap anggotanya. Dengan kata lain, setiap orang bebas mengisi tabungannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Bahkan setiap orang tak ada yang tahu sudah berapa jumlah uang yang telah mereka sisihkan dalam kotak itu.

"Ini untuk menghilangkan kemungkinan kebanggaan pribadi dari masing-masing anggota pekurban, kami belajar ikhlas dengan cara paling rahasia yang kami bisa," ujar Shafwan Ali, salah seorang anggota perkumpulan kurban.

Cara berkurban yang lain dari biasanya ini, mulai berlangsung sejak 2008, dimulai oleh sekelompok orang yang biasa berkumpul di Masjid Muhajirin, Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.

Shafwan mengingat, kala itu hanya satu ekor sapi yang mampu dikurbankan oleh segelintir orang dengan cara berkurban yang seperti sumbangan sukarela ini.

Namun, terjadi peningkatan pada 2009, ketika anggota kurban yang terkumpul sudah jauh lebih banyak, yakni 21 orang, dan menghasilkan tiga ekor sapi kurban. Tahun 2010 ini, berhasil terjaring 36 orang yang sepakat dengan cara berkurban seperti itu.

Tidak seperti kelompok kurban pada umumnya, kelompok ini memang sengaja tidak mematok jumlah uang yang harus dikumpulkan.

Hal ini bertujuan membuka kesempatan lebar-lebar berkurban bagi masing-masing anggota, mengingat beragamnya latar belakang dan profesi anggota yang ikut, dari guru hingga tukang kayu, pejabat menengah hingga penjual rempah-rempah, wartawan hingga yang bekerja serabutan.

Dalam kotak kayu yang hanya berlubang kecil dan dipaku mati itu, seolah-olah tersimpan rapat semua rahasia, tidak ada yang saling tahu, seberapa ikhlasnya seorang guru, penjual rempah-rempah, wartawan, tukang kayu, dan pejabat menengah, dalam menyisihkan hartanya untuk berkurban.

Dan pada malam itu, terkumpul uang yang diperkirakan cukup untuk membeli empat ekor sapi. Tapi ternyata masih ada uang tersisa lebih sedikit, yang dinilai masih memungkinkan untuk membeli seekor hewan kurban lagi.

Uang yang tersisa itu, tidak mungkin dikembalikan pada keduapuluh satu orang lagi, atau dijadikan uang kas untuk tabungan tahun depan, karena itu dinilai sudah menyalahi niat awal untuk berkurban, dengan cara yang "bebas dan rahasia" ini.

Setelah melalui musyawarah singkat, akhirnya disepakati untuk mengumpulkan uang, jumlahnya kembali tidak ditentukan, sesuai kemampuan dan tentunya keikhlasan masing-masing.

Akhirnya niat itu genap, sisa uang dari `Kotak Rahasia` yang ditambah ternyata cukup untuk membeli seekor sapi dan seekor kambing lagi.

Persoalan belum selesai sampai di situ, karena dalam kesepakatan awal, di antaranya disebutkan bahwa hewan kurban itu, tidak akan disembelih di satu tempat, melainkan disebar di mana tempat atau wilayah yang tidak menyembelih hewan kurban.

Tujuannya jelas, yakni untuk menghindari penumpukan pembagian daging, atau menepatkan sasaran pada orang yang lebih membutuhkan. Maka tim survei pun akan diturunkan, mencari titik-titik tempat yang dibutuhkan.

Empat ekor sapi akan diantar ke tempat berbeda, penyembelihan dan pembagiannya diserahkan pada pihak masjid masing-maisng, yang dinilai yang paling mengetahui, siapa saja warga setempat yang berhak mendapatkan daging kurban itu.

Hanya satu ekor sapi yang nantinya akan disembelih di masjid tempat anggota pekurban itu berkumpul. Setiap anggota kelompok ini, hanya mengambil secukupnya daging kurban untuk dikonsumsi sendiri, sedang sebagian besar lainnya dibagi habis bagi mereka yang membutuhkan, guna ikut merayakan Idul Adha.
(KR-SHS/H-KWR)

Oleh Syamsul Huda M. Suhari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010