Mataram (ANTARA) - Beberapa hari lalu, banyak berita di media massa tentang proyeksi di tahun 2030 wilayah utara Kota Jakarta akan tenggelam.
Berita-berita tersebut menyoroti sinyalemen yang disampaikan dalam pidato Joe Biden Presiden Amerika tentang bahaya pemanasan global yang diperkirakan akan menenggelamkan Jakarta dalam 10 tahun ke depan. Biden menyatakan opsi Indonesia untuk memindahkan ibu kotanya.
Sejatinya, berita terkait pemanasan global, perubahan iklim dan masalah-masalah lingkungan lainnya yang berujung pada potensi bencana, sudah menyebabkan bencana terjadi di beberapa pelosok dunia. Namun pertanyaannya, seberapa jauh hal ini memberikan dampak bagi pembaca? Apakah berita-berita tersebut mampu meningkatkan kepedulian terhadap konservasi alam dan lingkungan hidup?
Tidak banyak dari kita yang bisa tergugah dengan berita-berita tersebut sehingga memutuskan untuk mengubah perilaku. Menjadi lebih ramah lingkungan misalnya. Bagi yang memang sudah memiliki kepedulian, mungkin berita-berita itu akan menjadi pengingat bahwa situasi lingkungan dunia yang kita hadapi sebagai bagian dari masyarakat global memang tidak bisa dianggap main-main.
Tetapi bagi yang belum memiliki kesadaran seperti itu dan tidak begitu tahu seberapa dalam sebenarnya kondisi krisis lingkungan saat ini, barangkali tidak akan sampai mengubah kesadaran apalagi perilaku. Selama tempat kejadian terjadi di lokasi yang jauh dari dirinya, atau masih lama terjadinya dan dampaknya pun tidak terasa secara langsung, maka semua dianggap baik-baik saja.
Baca juga: ICEL: Kebijakan anti-SLAPP perlu untuk lindungi pejuang lingkungan
Baca juga: Selebritis penggiat lingkungan jaga lingkungan dengan tidak konsumtif
Kondisi lingkungan
Bila mengacu pada laporan terbaru tentang kondisi lingkungan secara global saat ini yang dikeluarkan oleh IPCC, suatu panel antar pemerintah tentang perubahan iklim. Kondisi kerusakan lingkungan semakin lama makin meningkat. Suhu bumi saat ini sudah bertambah 1,5℃ lebih panas, bahkan bisa mencapai 2℃ bila tidak ada upaya berarti untuk mencegahnya.
Akibatnya cuaca semakin ekstrim, anomali cuaca semakin sering terjadi. Salju di kutub utara akan semakin cepat mencair dan kemungkinan bisa menghilang di tahun 2050. Permukaan air laut akan semakin naik 2-3 meter dan bisa jadi lebih yang pastinya mengkhawatirkan bagi kota-kota yang berada di pesisir, sebagaimana Jakarta yang disinggung di awal tulisan ini.
Untuk semua yang terjadi di atas, manusia lah pihak yang harus dipersalahkan. Saat ini memang kita ada dalam masa antroposen.
Di mana aktivitas manusia memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap geologi dan ekosistem di planet bumi, termasuk dan tidak terbatas pada perubahan iklim yang antropogenik. Walaupun istilah yang merujuk pada lapisan geologi baru yang terbentuk pada litosfer itu belum sepenuhnya resmi, namun tidak bisa dipungkiri beberapa jejak pengaruh aktivitas manusia sudah terekam oleh bumi.
Beberapa peristiwa lingkungan yang bisa menjadi titik tolak berubahnya wajah bumi akibat pengaruh aktivitas manusia. Misalnya, yang fenomenal adalah percobaan bom atom yang menghancurkan, mengkontaminasi hingga memicu mutasi genetik. Peristiwa revolusi industri di abad ke-18 yang menginisiasi eksploitasi sumber daya alam untuk pabrik-pabrik, berakibat meningkatnya polusi udara, air dan pemakaian bahan bakar fosil.
Bila menilik sejarah awal peradaban di Mesopotamia, manusia sudah mulai mengubah lingkungan alam dari hutan dan lahan yang asri menjadi lahan pertanian, merusak habitat aslinya, mengurangi keanekaragaman hayati dan mendorong pelepasan karbon dioksida ke atmosfer.
Beberapa aktivitas manusia tersebut, dari percobaan teknologi yang merusak, pendirian pabrik-pabrik industri eksploitatif dan perluasan lahan pertanian yang tidak berkelanjutan. Tragisnya, masih berjalan dengan pola yang tidak jauh berbeda hingga saat ini.
Permasalahan terkait aktivitas tersebut yang berdampak pada kerusakan lingkungan seringkali menjadi perhatian aktivis, mungkin dengan sebagian kecil masyarakat terdampak yang mereka advokasi.
Sementara, sebagian besar dari masyarakat lain tidak terlihat keterlibatannya, bahkan untuk sekedar menunjukkan kepedulian atau dukungan. Bukan karena kendala informasi yang di zaman digital ini sudah lebih terbuka. Namun lebih kepada pembahasan yang kadang terlalu jauh dari pemahaman umum.
Padahal dengan dukungan masyarakat, bukan cuman potensi dukungan publik tapi juga bisa meningkatkan daya tekan bagi pemangku kepentingan.
Baca juga: Cegah kepunahan, masyarakat wajib kontribusi atasi krisis iklim
Baca juga: Sumber mata air di Dairi-Sumatera Utara ditanami ratusan pohon
Kampanye edukatif
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kepedulian masyarakat umum terhadap permasalahan konservasi alam dan lingkungan hidup, diperlukan kampanye edukatif dengan bahasa simpel, disampaikan secara kontinyu namun cukup unik dan menarik. Kampanye lingkungan tidak akan sampai ke mayoritas masyarakat yang sibuk dengan hidupnya, kalau narasinya tidak membumi dan dirasa tidak terkait secara langsung dengan keseharian publik.
Timbulnya kesadaran masyarakat umum seharusnya menjadi sasaran utama dari kampanye. Lebih baik lagi, perlu sinergi antar berbagai lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan. Kampanye lingkungan yang diusung harus mampu mengurai dan membuka mata umum tentang konflik antara kepentingan jangka pendek pihak-pihak tertentu dengan kepentingan jangka panjang masyarakat secara keseluruhan.
Bukti antropologis menunjukkan suatu masyarakat bisa saja punah, salah satunya karena ketidakmampuan mengatasi permasalahan lingkungan ini.
Pada tataran praktis, kampanye edukatif tentang lingkungan ini pun bisa disisipkan dalam kegiatan perayaan HUT Kemerdekaan ke-76. Sehingga momen kemerdekaan bukan hanya digunakan untuk mengenang jasa-jasa pahlawan pendahulu kita. Namun juga untuk menanamkan jiwa peduli lingkungan sebagai perwujudan cinta tanah air agar kita dapat mewariskan negara ini secara utuh kepada anak cucu kita.
Situasi pandemi yang masih melanda saat ini, justru adalah momentum tepat untuk menggalakkan kampanye tentang kesadaran lingkungan. Kondisi udara yang sempat membaik karena berkurangnya polusi, seperti dialami Jakarta beberapa waktu lalu karena pemberlakuan pembatasan mobilitas bisa jadi contoh betapa perilaku individual yang dilakukan secara masif bisa berdampak positif bagi lingkungan.
Bila berkurangnya penggunaan transportasi dan mengurangi jejak karbon lainnya menjadi kebiasaan baru, maka beban lingkungan di masa depan akan menjadi jauh lebih ringan.
Baca juga: Menteri LHK: Hari Lingkungan Hidup momentum tingkatkan pelestarian
Baca juga: Partisipasi masyarakat kelola sampah bisa memberikan manfaat ekonomi
* Penulis Wakil Ketua Yayasan Palawa Indonesia, lulusan S1 Antropologi Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung dan S2 Bisnis Internasional FCE University of New South Wales, Sydney
Copyright © ANTARA 2021