Jakarta (ANTARA News) - PT Aryaputra Teguharta (APT) meminta Mahkamah Agung mengusut berbagai kejanggalan dalam penerbitan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas eksekusi putusan Peninjauan Kembali MA soal saham milik APT di PT BFI Finance.
Dalam suratnya kepada MA tertanggal 4 November 2010 yang diterima di Jakarta, Sabtu, PT APT meminta MA memeriksa sejumlah kejanggalan dalam penerbitan putusan PN Jakpus, Nomor 079/2007 tanggal 10 Oktober 2007 yang menyatakan bahwa putusan Peninjauan Kembali MA No 240 PK/PDT/2006 tertanggal 20 Februari 2007 tidak dapat dilaksanakan (non executable).
Direktur PT APT, Irwan Susanto mengatakan, putusan Mahkamah Agung RI dalam tingkat Peninjauan Kembali telah memerintahkan kepada PT BFI Finance dan Direksi BFI Finance selaku tergugat untuk mengembalikan seluruh saham BFI Finance milik APT.
Putusan PK MA juga menyatakan bahwa penggugat (APT) adalah pemilik sah 32,32 persen saham BFI Finance.
Namun, katanya, bukannya dieksekusi, tetapi PN Jakpus malah menyatakan bahwa putusan Peninjauan Kembali MA itu tidak dapat dilaksanakan (non executable).
Untuk itu, Irwan meminta keputusan PN Jakpus tersebut dibatalkan karena diterbitkan dengan tidak berdasarkan rasa keadilan. Kejanggalan tersebut antara lain adalah Penetapan No.079 yang serba kilat serta tidak wajar dan menyalahi aturan yang ditetapkan.
Irwan juga mempertanyakan PN Pusat yang tidak melakukan upaya maksimal yang sepatutnya dilakukan dalam mengembalikan saham BFI milik APT, sebelum menyerah dan memutuskan eksekusi Putusan MK No.240 tidak dapat dilakukan.
Kejanggalan lainnya yang dilaporkan Irwan adalah PN Jakarta Pusat juga tidak segera memberitahu dan menyampaikan penetapannya kepada pemohon eksekusi (APT).
"PN Jakpus seharusnya melaksanakan Putusan PK MA dengan memaksa direksi BFI Finance mengembalikan saham milik APT," ucap Irwan.
Kasus sengketa saham ini berawal pada 1 Juni 1999, saat APT menggadaikan sahamnya di PT BFI Finance kepada direksi BFI, sebagai jaminan tambahan dalam proses restrukturisasi utang BFI serta utang PT Ongko Multicorpora (OM) selaku pemilik BFI lainnya ke sejumlah kreditur, sebagai imbas krisis moneter 97-98 silam.
APT sendiri sebagai salah satu pemilik BFI Finance tidak memiliki utang baik ke BFI maupun ke kreditur BFI.
"Gadai saham yang dilakukan APT merupakan bentuk goodwill sebagai salah satu pemilik PT BFI Finance. Sebab, APT sendiri tidak memiliki utang ke kreditur BFI," papar Irwan.
Gadai saham tersebut berjangka waktu 12 bulan, dan selanjutnya diperpanjang enam bulan, sehingga jatuh tempo pada 1 Desember 2000. Dengan berakhirnya jangka waktu gadai saham, maka saham milik APT sudah tidak terikat lagi dan harus dikembalikan ke APT.
Namun, kata Irwan, tanpa sepengetahuan dan persetujuan APT, sebagian besar saham milik APT malah mengalir ke direksi dalam bentuk Management Stock Option Plan (MSOP).
Jadi, katanya, hanya sebagian kecil saja yang dijadikan pembayaran utang ke kreditur sebagaimana disebutkan dalam perjanjian perdamaian antara manajemen BFI dengan para krediturnya pada 7 Desember 2000.
Sebelumnya, menurut siaran pers manajemen PT BFI Finance Tbk menyatakan, APT bukan lagi sebagai pemegang saham BFI sesuai dengan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada 2000.
Manajamen BFI menyatakan, APT dan Ongko Multicorpora (OM) menjaminkan sahamnya untuk menjamin utang PT BFI Finance (dulu Bunas Finance Indonesia) dan OM kepada para krediturnya.
Selanjutnya, APT dan OM sepakat untuk menyerahkan kepemilikan sahamnya di BFI kepada kreditur BFI dengan timbal balik utang anak perusahaan OM yang dijamin dengan gadai saham itu dihapusbukukan.
Sebelumnya diberitakan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) diminta lebih tegas terhadap kasus di bursa saham seperti IPO PT Krakatau Steel maupun sengketa saham BFI Finance.
"Bapepam memiliki kewenangan untuk melaksanakan penyidikan apabila dalam transaksi saham terjadi indikasi pidana," kata pengamat pasar modal, Yanuar Rizki.
Menurut Yanuar apabila Bapepam tidak melakukan tindakan apa pun sehingga masyarakat atau publik dirugikan maka akan menimbulkan kecurigaan sehingga pihak berwajib harus melakukan penyidikan. (*)
(T.B013/A041/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010