Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Dr Ir Rahmat Hidayat memberikan beberapa solusi untuk menstabilkan harga ayam ras di tingkat peternak salah satunya dengan membuat rencana importasi bibit ayam dan juga produksi pembibitan ayam.
"Pertama, perusahaan pembibitan atau importir sumber bibit ayam (grand parent stock/GPS) mampu membangun produk turunan produk ayam ras. Harus sudah jelas market share, dikirimkan dimana dan jumlahnya berapa. Saya yakin tidak akan ada over supply," kata Rahmat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.
Kedua, lanjut dia, membuat rencana bisnis impor GPS yang dibutuhkan selama enam tahun ke depan. Menurut Rahmat, importasi GPS ini tidak perlu dikenakan kuota, seperti halnya terjadi pada bisnis sapi potong.
Selanjutnya, perusahaan pembibitan harus memiliki rencana produksi per pekan untuk produksi telur tetas dan pendistribusiannya. Dan yang keempat, yaitu integrasi vertifikasl dari GPS sampai hiliirisasi PS.
"Kelembagaan harus dibangun. Maka tidak ada lagi over supply. Kita hitung dari daya serap pasar.Jadi tidak jor-joran impor GPS. Adapun tips terakhir model bisnis harus disesuaikan dengan kapasitas pasar. Perusahaan pembibitan wajib membangun hilirisasi," katanya.
Baca juga: Indef sarankan pemerintah miliki data termutakhir industri perunggasan
Terkait harga produk unggas, lanjut Rahmat, ditentukan karakteristik produk dan daya beli masyarakat. Rahmat meminta industri peternakan melakukan daging karkas beku, cold storage, dan rumah potong unggas. Pelaku usaha perunggasan harus mendapatkan patokan laba yang normal.
"Kebijakan ini butuh intervensi dengan memberi lanjutan serapan produk oleh pemerintah sebagai buffer stock,” kata dia.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) Ali Usman menambahkan pentingnya pemerintah kalkulasi GPS dengan baik dan benar supaya tidak terjadi overstock di berbagai tingkatan perusahaan.
Selain itu, tambah dia, hak dan kewajiban peternak skala Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) juga diberikan kuota GPS supaya tidak tergantung kepada integrator.
“Terutama bagaimana pemerintah menghapus kuota GPS atas insentif ekspor kepada sejumlah perusahaan. Sebab kegiatan ekspor hanya sebagai simbolik, artinya tidak berkelanjutan,” kata Usman.
Dalam pengendalian oversupply, pemerintah perlu melibatkan seluruh stakeholder perunggasan nasional baik pelaku industri, peternak dan akademisi untuk menghitung kuota impor GPS sesuai kebutuhan.
Kemudian untuk menjaga pasokan berlebih sejauh mana perusahaan berkewajiban dalam membangun cold storage dan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) sebagai kartu pengaman jika harga livebird jatuh.
"Sehingga pasokan dapat dikendalikan supaya harga tetap terjaga diatas Harga Pokok Produksi," ujar Rahmat.
Baca juga: Kementan sebut pengendalian produksi ayam ras berdampak positif
Saat ini harga ayam hidup live bird di tingkat peternak berada di rentang Rp9.000-Rp10.000 per ekor. Padahal harga pokok produksi (HPP) sudah mencapai Rp19.000 per kilogram.
Kementerian Pertanian (Kementan) terus berupaya melakukan stabilisasi harga ayam hidup yang jatuh di tingkat peternak. Strategi stabilisasi ini antara lain dilakukan melalui pembatasan jumlah telur tetas atau cutting hatching egg usia 19 hari dan afkir dini induk ayam.
Menurut Rahmat, kebijakan yang ditempuh Kementan guna menolong peternak ini sebetulnya berhasil menaikkan harga live bird di tingkat peternak.
Namun, pada perkembangannya pemangkasan produksi telur tetas dan afkir dini justru memicu kenaikan harga ayam umur sehari atau daily old chicken (DOC) karena terjadi kelangkaan di pasar.
Normalnya, harga DOC hanya sebesar Rp5.000-Rp6.000 per ekor, namun informasi peternak mandiri menyebutkan harganya melonjak menjadi Rp9.000 per ekor.
Baca juga: Kementan diminta tindak tegas perusahaan unggas tak taat afkir dini
Baca juga: DPD harap pemda bisa terlibat bantu peternak unggas mandiri
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2021