Yogyakarta (ANTARA News) - Gunung Merapi dinilai tipe letusannya kini berubah. Penilaian itu dikatakan ahli vulkanologi dari Universitas Kyoto Jepang Masato Iguchi.
Ia mengatakan tipe letusan Merapi mengalami perubahan dibandingan dengan letusan sebelum 2006 yang ditandai dengan adanya pembentukan kubah lava.
"Saya hingga kini belum mengetahui penyebab mengapa tipe letusan Gunung Merapi berubah, namun perubahan tipe letusan seperti ini sering terjadi di sejumlah gunung berapi lainnya, salah satunya gunung berapi di Jepang, Miyake Jima," katanya, di Yogyakarta, Jumat.
Sebelumnya, Direktur Penerangan dan kebudayaan Besar Jepang di Indonesia Masaki Tani mengatakan tiga ahli vulkanologi asal Jepang akan membantu melakukan survei kondisi bencana letusan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Tiga vulkanolog itu, yakni Kenji Nogami (ahli di bidang "volcanic chemistry"), Masato Iguchi (ahli di bidang "physical vulcanology"), dan Takayuki Kaneko (ahli di bidang "volcano geology"). Selain itu ada ahli di bidang penyakit saluran pernapasan Satoru Ishii.
"Kami akan terus memberikan pendampingan dari sisi keilmuan kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral," kata Iguchi.
Gunung Miyake Jima di Jepang, kata dia, memiliki tipe erupsi yang sama yaitu meletus setiap 20 tahun sekali ditandai dengan keluarnya aliran lava, namun pada 2000 gunung tersebut meletus dengan membuat kaldera berdiameter satu kilometer, dan letusan besar dengan kolom asap setinggi 10 km.
"Perubahan itu disebabkan adanya pergerakan magma dalam volume yang cukup besar, namun belum bisa memastikan apakah hal itu juga terjadi di Gunung Merapi," kata Iguchi.
Mengenai pemasangan mikrofon infrasonik untuk Gunung Merapi, Icuchi mengatakan alat tersebut sangat efektif untuk memantau gunung ini karena terkadang puncak gunung ini diselimuti kabut, sehingga tidak terlihat adanya letusan, padahal kenyataannya gunung tersebut meletus.
Alat tersebut, kata dia akan dipasang di luar radius 20 kilometer dari puncak Merapi sesuai radius aman yang telah ditetapkan PVMBG, salah satunya di dekat Prambanan.
Tiga mikrofon infrasonik akan dipasang untuk mempertajam pantauan Gunung Merapi, sehingga PVMBG akan memperoleh gambaran aktivitas gunung itu lebih baik.
"Pengamat selama ini sering tidak mendengar letusan Gunung Merapi, meskipun sebenarnya gunung meletus sehingga dengan adanya mikrofon infrasonik maka akan diperoleh data lebih baik tentang letusan Merapi," kata Kepala PVMBG Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono, di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, mikrofon infrasonik tersebut akan mampu menangkap gelombang udara yang diakibatkan letusan Gunung Merapi dan pengamat tidak hanya mendasarkan pengamatan pada seismograf atau pengamatan visual. "Kami kemudian akan menganalisa data yang masuk sehingga memperoleh statistik yang baik tentang jumlah letusan Merapi," katanya.
Ia mengatakan alat serupa telah dipasang di sejumlah gunung api lain di Indonesia seperti Gunung Krakatau dan Gunung Semeru.
Pemasangan mikrofon infrasonik merupakan hasil kerja sama dengan Jepang yang juga mengirimkan tiga ahli gunung api ke Indonesia untuk melakukan pemantauan terhadap Merapi.
"Meskipun ada bantuan dari Jepang, bukan berarti tenaga dari Indonesia masih kurang. Segala pertimbangan dan keputusan juga masih berada di tangan saya," katanya.
Ketiga ahli dari Jepang tersebut melakukan pantauan dari tiga sisi yang saling berkaitan, yaitu geofisik, geokimia, dan geologi.
Mengenai pemasangan mikrofon infrasonik itu, Iguchi mengatakan alat tersebut akan efektif karena terkadang puncak Gunung Merapi diselimuti kabut sehingga tidak terlihat adanya letusan, padahal kenyataannya gunung tersebut meletus. "Kami akan terus memberikan pendampingan dari sisi keilmuan kepada PVMBG," katanya.
Intensitas erupsi menurun
Intensitas erupsi Gunung Merapi pada Jumat mulai pukul 06.00 WIB hingga 12.00 WIB masih berlangsung, namun cenderung menurun dengan disertai suara gemuruh lemah sampai sedang yang terdengar di kawasan Kaliurang.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono mengatakan berdasarkan hasil pemantauan yang diperoleh jumlah kegempaan terjadi tremor beruntun, 10 guguran, dan dua kali gempa teknonik.
Selebihnya, kata dia, gempa vulkanik, multiphase, dan "low frequency" tidak terdeteksi. Pada pukul 12.54 WIB awan panas meluncur ke arah Selatan.
Ia mengatakan endapan lahar telah teramati di semua sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi dari arah tenggara, selatan, barat daya, barat, hingga barat laut yang meliputi Kali Woro, Gendol, Kuning, Boyong, Bedog, Krasak, Bebeng, Sat, Lamat, Senowo, Tringsing, dan Kali Apu.
Surono mengatakan lahar di Kali Boyong telah diendapkan di Dusun Kardangan Desa Purwobinangun, Pakem yang berjarak sekitar 16 kilometer dari puncak Gunung Merapi.
"Lahar di Kali Kuning telah mengisi penuh Jembatan Sidorejo, Dusun Sidorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem yang berjarak 9,5 kilometer dari puncak Merapi," katanya.
Dia nengatakan di alur Kali Gendol lahar telah mengisi penuh dam di Dusun Morangan Desa Sindumartani yang berjarak 16,5 kilometer dari puncak Merapi.
Berdasarkan laporan dari Pos Ketep, cuaca cerah diselingi kabut dari dini hari hingga siang ini terus terjadi. Tampak asap berwarna putih hingga cokelat condong ke selatan, barat daya, barat hingga barat laut setinggi 1.000 meter dari puncak Gunung Merapi dan bertekanan lemah.
Harus tetap diwaspadai
Kepala Badan Geologi R Sukhyar mengatakan saat ini Gunung Merapi sedang memasuki masa "istirahat", namun belum dapat dipastikan apakah fase erupsi gunung ini telah berakhir.
"Sekarang justru harus tetap diwaspadai, apakah masa istirahat ini dimanfaatkan oleh Merapi untuk keluar dari sistem yang telah terbentuk, dan nanti erupsi lagi atau tidak," kata Sukhyar, di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, kewaspadaan tersebut perlu tetap dipertahankan karena kejadian serupa juga terjadi pascaletusan 26 Oktober 2010.
Pascaletusan 26 Oktober, Gunung Merapi juga mengalami masa istirahat, namun kemudian terjadi erupsi eksplosif yang sangat besar selama periode 3-8 November dengan puncak letusan pada 5 November 2010.
Sukhyar mengatakan, masa istirahat tersebut harus dilihat dari jarak antar puncak letusan Gunung Merapi yaitu pada 26 Oktober hingga 5 November yang berjarak sekitar 10 hari.
"Secara teori, dalam masa istirahat ini Gunung Merapi akan membentuk gelembung-gelembung gas yang memungkinkan adanya letusan eksplosif," katanya.
Sukhyar memperkirakan letusan besar yang dimulai sejak 3 November 2010 ditandai dengan keluarnya awan panas selama lebih dari dua jam secara berturut-turut, dan kemudian dilanjutkan dengan letusan tanpa henti hingga 8 November 2010, merupakan satu paket letusan besar. "Yang paling diharapkan adalah, Gunung Merapi tidak meletus lagi karena sekarang tingkat eksplosifitasnya sudah rendah," katanya.
Berdasarkan jumlah material yang telah dimuntahkan oleh Gunung Merapi sejak letusan 26 Oktober, dapat diketahui indeks letusan gunung tersebut atau "volcanic eksplosivity indeks" (VEI) adalah empat. "VEI dengan jumlah material yang dimuntahkan antara 100 juta meter kubik hingga 1 miliar meter kubik adalah empat," katanya.
Sementara itu, pada Jumat sekitar pukul 12.54 WIB, Gunung Merapi kembali mengeluarkan awan panas dengan jarak luncur tiga hingga empat kilometer ke arah selatan.
Kepala PVMBG Surono mengatakan dengan semakin tidak adanya halangan di puncak gunung akibat erupsi yang terus-menerus, jarak luncur awan panas skala kecil bisa mencapai tiga kilometer. "Biasanya, dalam waktu dua menit, jarak luncur awan panas adalah satu kilometer, namun sekarang jarak luncurnya bisa mencapai tiga kilometer," katanya.
PVMBG tetap memberlakukan radius aman 20 kilometer (km) karena sebaran awan panas tidak hanya ke selatan, tetapi juga ke berbagai arah seperti ke barat dan barat daya.
Sementara itu, berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan hingga pukul 12.00 WIB, gempa tremor masih terjadi secara beruntun, 10 kali guguran dan dua kali gempa tektonik.
Awan panas muncul lagi
Gunung Merapi kembali meluncurkan awan panas besar pada Jumat pukul 17.38 WIB, terjadi selama lebih dari satu jam.
Berdasarkan pantauan kamera CCTV yang dipasang di Deles Klaten, Jawa Tengah, juga terlihat kolom asap cukup tinggi yang diikuti dengan munculnya lava pijar yang cukup besar sekitar pukul 18.45 WIB.
"Kami masih tetap menyatakan status Gunung Merapi dalam keadaan `awas` meskipun dalam beberapa hari terakhir ini intensitas seismik Merapi menurun," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Surono, di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, luncuran awan panas selama lebih dari satu jam tersebut cukup berbahaya karena kondisi di Gunung Merapi sudah seperti jalan tol karena tidak ada lagi penghalang di sepanjang lereng tersebut seperti pepohonan.
Oleh karena itu, lanjut dia, diperkirakan luncuran awan panas tersebut kemungkinan bisa mencapai jarak cukup jauh.
Sebelumnya, pada pukul 12.54 WIB juga muncul awan panas berdurasi sekitar tiga menit yang meluncur ke arah selatan sejauh tiga hingga empat kilometer.
Pascaletusan 26 Oktober 2010, intensitas seismik Merapi juga sempat mereda, namun kembali meletus besar pada 3 November dengan puncak letusan pada 5 November 2010.
"Masyarakat tetap diminta untuk berada di luar radius 20 kilometer sebagai radius berbahaya yang telah ditetapkan sebelumnya ataupun beraktivitas di sepanjang alur sungai berhulu di Merapi," katanya.
Surono mengatakan energi yang tersimpan di perut Merapi masih cukup besar, dan besarnya energi tersebut berbanding lurus dengan letusan.
Ia mengatakan, kemungkinan sejumlah daerah yang terletak di sisi barat dan barat daya Gunung Merapi akan kembali mengalami hujan pasir dan hujan abu.
Adanya hujan pasir dan abu tersebut menunjukkan bahwa aktivitas Merapi masih tinggi sehingga bisa menjadikan kewaspadaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Namun demikian, ia mengatakan relokasi warga yang semula tinggal di sekitar Merapi bukan merupakan pilihan terakhir, karena yang lebih penting dilakukan adalah manajemen risiko letusan gunung berapi ini.
"Tanah di sekitar gunung api tersebut akan semakin subur. Tetapi masyarakat juga perlu memiliki manajemen risiko yang baik," katanya.
Korban meninggal 161 orang
Korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dibawa ke Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta pada Jumat hingga pukul 18.00 WIB tercatat 161 orang.
Sebanyak 161 korban yang meninggal dunia itu terdiri atas 37 korban meninggal saat erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010, sedangkan 124 korban meninggal pada erupsi pada 5 November 2010.
Kepala Bagian Humas dan Hukum Rumah Sakit (RS) Sardjito Yogyakarta Trisno Heru Nugroho membenarkan total jumlah korban meninggal dunia yang dibawa ke RS Sardjito Yogyakarta akibat letusan Merapi pada 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010 sebanyak 161 orang.
RS Sardjito Yogyakarta hingga kini masih merawat sebanyak 91 korban letusan gunung yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, sejumlah 20 orang di antaranya menderita luka bakar dan 71 orang nonluka bakar, sedangkan sembilan orang diperbolehkan pulang menjalani rawat jalan.
Menurut dia, di ruang forensik RS Sardjito Yogyakarta hingga kini masih terdapat sebanyak 12 jenazah, sejumlah 10 jenazah dari hasi evakuasi tim SAR, TNI, dan Relawan serta dua jenazah dari pasien yang dirawat di rumah sakit ini.
Ia mengatakan 12 jenazah yang masih berada di ruang forensik RS Sardjito Yogyakarta rencananya akan dikubur secara massal pada Sabtu (13/11). Namun tempat untuk memakamkan jenazah tersebut belum bisa dikofirmasi.
Jumlah korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi pada Jumat (5/11) dini hari kemungkinan masih akan terus bertambah karena tim gabungan yang terdiri atas anggota pencarian dan penyelamatan (SAR), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan relawan masih terus melakukan proses evakuasi, terutama di dusun sekitar Kali Gendol.
Tim SAR DIY, TNI, dan relawan hingga kini masih menemukan jenazah di dusun-dusun sekitar Kali Gendol yang terletak tidak jauh dari puncak gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sementara itu, sekitar 97 persen pengungsi korban bencana erupsi Merapi yang tinggal di beberapa posko pengungsian bisa mengatasi gangguan psikologis temporer berupa syok sesaat.
"Mereka tidak mengalami gangguan psikologis karena memiliki kemampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan," kata Koordinator Tim Relawan Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rahmat Hidayat di posko kesehatan Stadion Maguwoharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat.
Menurut dia, hingga kini tim relawan yang tergabung dalam Center for Public Mental Health (CPMH) atau Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi UGM telah memberikan bantuan psikologi kepada 340 pengungsi. "Kami memberi bantuan psikologi dan konseling, mulai dari kasus ringan hingga yang paling berat," kata dosen Fakultas Psikologi UGM itu.
Ia mengatakan untuk kasus yang lebih berat, pihaknya menerjunkan tim psikolog dan mahasiswa S2 psikologi, sedangkan untuk terapi bermain bagi anak-anak dilakukan mahasiswa S1 psikologi.
"Dalam memberikan bantuan psikologi, pengungsi dibedakan dalam dua kategori, yakni mereka yang mengungsi karena lokasi rumah saat ini sedang tidak aman untuk ditempati dan mereka yang mengungsi betul-betul sebagai korban akibat rumah yang ditempati sudah hancur," katanya.
Menurut dia, pengungsi yang betul-betul menjadi korban itu perlu mendapat penanganan psikologis secara serius. "Kasus yang paling banyak mendapat bantuan psikologi adalah pengungsi yang mengalami ketakutan dan kecemasan secara terus menerus. Mereka kebanyakan mengalami insomnia, tidak tenang dan cemas secara berlebihan," katanya.
Selain itu, tim relawan psikologi UGM juga menangani 40 kasus yang mengarah kepada kasus gangguan jiwa. Namun, kasus tersebut bukan kasus baru akibat bencana Merapi, melainkan memang sudah memiliki riwayat gangguan tersebut. "Gangguan itu muncul lagi karena adanya perubahan drastis dengan kondisi mereka yang menjadi pengungsi akibat meletusnya Merapi," katanya.
Anggota tim relawan psikologi UGM Tina Afiatin mengatakan, dukungan sosial berupa dari keluarga atau sesama pengungsi sangat membantu mereka untuk bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi yang dialami saat ini. "Mereka yang mengalami gangguan proses penyesuaian diri biasanya kurang atau tidak mendapat dukungan dari kerabat atau keluarganya," katanya.
Menurut dia, pengungsi yang mengalami gangguan penyesuaian diri biasanya mengalami insomnia, hipertensi, dan psikosomatis. Gangguan itu ditunjukkan dengan keinginan untuk segera pulang ke rumah, tidak betah tinggal di pos pengungsian, tidak mau makan, dan tidak mau bicara.
"Untuk kasus yang berat, biasanya mereka mengalami ketakutan secara terus menerus, sering menangis, dan mengalami halusinasi," katanya.
11.099 ternak belum teridentifikasi
Sebanyak 11.099 ternak di kawasan Gunung Merapi yaitu Kecamatan Turi, Cangkringan, dan Pakem, Kabupaten Sleman, belum berhasil didentifikasi pascaletusan Gunung Merapi pada 26 Oktober dan 5 November 2010.
"Sebanyak 11.099 ternak sapi, kambing, dan domba hingga Kamis(11/11) malam belum dapat diidentifikasi," kata Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)Nanang Suwandi di Yogyakarta, Jumat.
Hingga kemarin malam, kata dia Dispertan DIY baru berhasil mendata jumlah ternak mati yaitu sebanyak 1.548 ekor dan ternak yang berhasil dievakuasi dari kawasan rawan bencana sebanyak 1.358 ekor.
"Jumlah populasi awal ternak di tiga kecamatan rawan bencana sebanyak 13.005 ekor, jumlah terbanyak ada di Pakem yaitu 5.367, Cangkringan 4.621, dan Turi 3.017 ekor," katanya.
Ternak yang berhasil dievakuasi, kata Nanang ditampung di 31 titik penampungan diantaranya di `Youth Center`, Maguwoharjo, dan Lapangan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
"Persediaan hijauan pakan ternak hanya cukup untuk 10 hari ke depan, untungnya bantuan pakan dari luar Yogyakarta terus mengalir. Hari ini datang lima ton pakan dari Baturaden," katanya.
Selain itu, menurut dia produksi susu sapi di Kabupaten Sleman juga menurun drastis hingga lebih dari 50 persen sebagai dampak dari letusan Gunung Merapi.
"Misalnya dua koperasi susu perah binaan Dispertan DIY, Sarana Makmur dan Warga Mulia masing-masing hanya mampu menyetor sekitar 1.000 dan 2.000 liter susu sapi per hari. Anjlok 50 persen dibanding saat normal, koperasi lain pun juga begitu," katanya.
Sementara itu, seluas 281 hektare lahan tanaman pangan di Kecamatan Turi, Cangkringan, dan Pakem Kabupaten Sleman akan kehilangan produktivitasnya minimal selama satu tahun karena tertimbun abu vulkanik muntahan Gunung Merapi.
"Jumlah tersebut merupakan lahan tanaman pangan yang mengalami puso dan rusak berat terkena dampak letusan Gunung Merapi," kata Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Nanang Suwandi di Yogyakarta, Jumat.
Sementara itu, areal pertanian tanaman pangan yang mengalami kerusakan ringan seluas 1.591 hektare masih dapat ditanami jika terus menerus diguyur hujan. "Total kerugian yang diderita Kabupaten Sleman akibat rusaknya lahan tanaman pangan karena letusan Gunung Merapi sebesar Rp4,5 miliar," katanya.
Letusan Gunung Merapi, kata dia juga merusak 870 rumpun salak siap panen dan menyebabkan kerugian sebesar Rp219 milyar. "Kerugiannya sangat besar karena buah salak tersebut sudah siap panen," katanya.
Ia mengatakan sektor perkebunan tanaman hias dan pertanian sayur pun tidak luput dari kerugian. "Sebanyak 640 batang tanaman hias rusak, kerugian ditaksir mencapai Rp1,1 milyar. Sedangkan lahan pertanian sayuran yang rusak seluas 765 hektae," katanya.
Selain di Sleman, kata dia abu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi juga merusak seluas 81 hektare lahan tanaman pangan di Kulon Progo. "Abu vulkanik tersebut terbawa angin yang bertiup ke arah barat, kerugian Kulon Progo ditaksir sebesar Rp722 juta, sebagian besar lahan tanaman pangan di wilayah tersebut mengalami kerusakan ringan," katanya.
Klimik kesehatan pengungsian
Tim "Disaster Response Unit" Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mendirikan klinik kesehatan darurat di delapan titik pengungsian korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Klinik tersebut memberikan pelayanan kesehatan bagi para pengungsi selama 24 jam. Dinas Kesehatan DIY menyerahkan delapan titik pengungsian ke UGM untuk pelayanan kesehatan," kata Ketua Tim Kesehatan Disaster Response Unit (Deru) UGM Sulanto Saleh Danu di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, kedelapan titik pengungsian itu adalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), UPN Veteran, Batalyon 403, barak Pramuka, GOR Pangukan, Masjid Agung Sleman, Youth Center Sleman, dan Stadion Maguwoharjo.
"Kami menerjunkan 300 dokter dan 50 paramedis untuk memberikan pelayanan kesehatan dan obat-obatan kepada para pengungsi. Mereka bertugas secara bergantian dengan sistem `shift` untuk menghindari kelelahan," katanya.
Ia mengatakan tenaga medis tersebut berasal dari GMC Health Center, Fakultas Kedokteran UGM, dan dokter residen yang praktik di Rumah Sakit Dr Sardjito dan Rumah Sakit Akademik UGM.
"Kondisi fisik pengungsi saat ini mulai mengalami penurunan. Banyak pengungsi yang terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), diare, sakit mata, dan sakit kulit," katanya.
Selain itu, menurut dia, gangguan psikologis para pengungsi dari hari ke hari menunjukkan peningkatan. "Kami menangani kesehatan para pengungsi di delapan titik pengungsian tersebut agar mereka sembuh dan dapat beraktivitas kembali seperti biasa," katanya.
Ia mengatakan, sebelumnya, Deru UGM juga telah mendirikan tiga klinik kesehatan darurat di tiga titik pengungsian, yakni Hargobinangun, Girikerto 1, dan Girikerto 2.
"Namun, sejak erupsi Merapi pada 4 November 2010, pos kesehatan Hargobinangun dipindahkan ke Stadion Maguwoharjo, sedangkan pos di Girikerto dipindahkan ke Youth Center Sleman," katanya.
Sementara itu, Pimpinan Pusat Aisyiyah mendirikan dapur balita sehat di posko pengungsian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang menampung pengungsi korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Dapur balita sehat itu didirikan untuk menyajikan dan memenuhi asupan menu makanan yang dibutuhkan balita," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah, Siti Noordjanah Djohantini di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, meskipun berada di pengungsian, kebutuhan gizi bagi balita harus tetap diperhatikan. Kebutuhan balita itu berbeda dengan kebutuhan orang dewasa.
"Meskipun para pengungsi telah mendapatkan menu makanan yang memadai, balita tetap memerlukan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan disarankan ahli gizi," katanya.
Ia mengatakan kebutuhan balita untuk mendapatkan asupan gizi, seperti sayuran dan susu, jelas berbeda dengan kebutuhan orang dewasa. Untuk itu, makanan yang disajikan dalam pengungsian juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
"Balita merupakan usia penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada usia itu anak masih rentan dengan berbagai gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani," katanya.
Salah satu faktor yang menentukan ketahanan tubuh balita adalah asupan gizinya. Pertumbuhan anak pada masa balita sangat pesat sehingga mereka membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
Di sisi lain, alat pencernaan balita belum berkembang sempurna, sehingga kebutuhan makanannya juga perlu disesuaikan dan berbeda dengan orang dewasa.
"Meskipun berada di pengungsian yang ditempati banyak orang, balita yang sedang mengalami proses tumbuh kembang harus memiliki kesehatan dan ketahanan tubuh yang baik. Tumbuh kembang anak jangan sampai terabaikan," katanya.
Oleh karena itu, orang tua tetap harus memperhatikan makanan yang diberikan kepada balitanya agar mereka tetap sehat dan ceria meskipun berada di pengungsian.
Menurut dia, program itu diharapkan dapat menambah pengetahuan orang tua dalam menyajikan menu makanan sehat bagi balitanya. "Selama ini banyak balita yang tidak suka mengkonsumsi sayuran, dalam program dapur balita sehat ini para orang tua bisa berkonsultasi dan berbagi pengalaman bagaimana menyajikan menu makan dan strategi agar balita tetap tercukupi kebutuhan sayuran," katanya.
Ia mengatakan, dalam program itu Aisyiyah akan membuka 10 posko dapur balita sehat di beberapa titik pengungsian yang tersebar di DIY-Jawa Tengah.
"Program itu menyediakan informasi mengenai penyiapan menu dan pengolahan makanan, dialog partisipatif seputar makanan sehat, dan pendampingan bagi anak dan ibu dalam menu makanan sehat baik selama di pengungsian maupun tindak lanjutnya saat kembali ke rumah,` katanya.
Sumsel beri bantuan medis
Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan memberikan bantuan medis untuk para pengungsi korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bantuan tersebut diserahkan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatra Selatan (Sumsel) Dwi Sarwanto kepada Kepala Dinas Ketenteraman dan Ketahanan DIY Murprih Antoro Nugroho dan Kepala Dinas Sosial DIY Sulistiyo di Kepatihan Yogyakarta, Jumat.
Menurut Dwi Sarwanto, bantuan itu berupa tim medis yang terdiri atas lima dokter, lima perawat, dua asisten apoteker, obat-obatan, satu mobil klinik, dan ambulans untuk meringankan beban warga yang terkena bencana Merapi.
"Bantuan yang diberikan itu kendati tidak seberapa nilainya, diharapkan bisa mengurangi beban warga yang terkena musibah Merapi. Bantuan itu juga sebagai wujud hubungan yang sangat erat antara masyarakat Sumatra dan Jawa," katanya.
Selain bantuan medis, Pemprov Sumsel juga memberikan bantuan sembako dan tenaga relawan sebanyak 10 orang, sembilan truk berisi sandang dan pangan seperti selimut, beras, mi instan, air mineral, tenda/terpal plastik, tikar, keperluan untuk wanita, dan bantuan dari peserta Diklatpim berupa uang sebanyak Rp5 juta.
"Kami mohon izin penyediaan tempat untuk membuka klinik yang bisa melayani 500 pasien. Jika tempat sudah ada, tim medis dari Sumsel akan langsung bekerja," katanya.
Murprih Antoro Nugroho mengatakan atas nama Gubernur DIY mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Pemprov dan masyarakat Sumsel kepada warga Yogyakarta yang sedang terkena bencana erupsi Merapi.
Menurut dia, bantuan yang diberikan kepada warga Yogyakarta diharapkan bisa meringankan beban mereka. Apalagi, Pemprov Sumsel juga akan membuka klinik untuk melayani kesehatan warga yang terkena dampak erupsi Merapi.
"Kami mengusulkan tempat untuk membuka klinik adalah Jogja Expo Center (JEC), karena terdapat sekitar 1.500 pengungsi yang membutuhkan tambahan layanan kesehatan, agar mereka yang sakit dapat mendapatkan layanan yang baik,` katanya. (E.013*B015*ANT-158/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010
http://www.4shared.com/file/Z_0ciP7l/merapi_30_km.html