Di tahun pertama, Indonesia memang tertatih untuk beradaptasi dengan keadaan. Lika-liku perubahan kebiasaan yang, mau-tidak mau, dialami oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Yang semula gagap teknologi pun dipaksa oleh keadaan untuk beradaptasi dengan digitalisasi.
Masa depan seolah datang lebih cepat daripada prediksi akibat digitalisasi yang begitu progresif. Namun, kini seruan ‘New Normal’ tidak lagi menjadi hal yang baru. Kebiasaan telah terbentuk dan kesadaran bersama telah bangkit. Mencuci tangan, yang memang seharusnya sedari dulu diterapkan, akhirnya menjadi kebiasaan. Pemandangan warga menggunakan masker pun sudah menjadi hal yang ‘normal’.
Tidak mengherankan, mengingat dalam pemberitaan ANTARA yang sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G. Plate mengatakan bahwa kedisiplinan masyarakat dalam menggunakan masker telah mencapai 85 persen. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Menteri Kominfo ketika melantik Usman Kansong menjadi Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik.
Tidak berhenti di angka 85 persen, Kemenkominfo memiliki tujuan yang lebih ambisius, yakni meningkatkan kedisiplinan masyarakat dalam menggunakan masker hingga mencapai 95 persen pada bulan September. Johnny G. Plate memercayakan tanggung jawab tersebut kepada Usman Kansong.
Tetapi Kemenkominfo bukan satu-satunya lembaga pemerintah yang memiliki tujuan ambisius terkait penanganan COVID-19. Kementerian Kesehatan, Kementerian Ekonomi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, dan jajaran kementerian lainnya juga memiliki program mereka masing-masing untuk mengatasi pandemi ini.
DPR, TNI-Polri, bahkan tokoh-tokoh masyarakat pun memiliki agenda tersendiri sebagai upaya mereka dalam mengatasi pandemi ini. Lantas, bagaimana sinergi yang telah terbentuk antarlembaga?
Baca juga: Presiden sebut pandemi seperti api dalam pidato kenegaraan
Selama satu tahun
Berdasarkan pengamatan Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar terhadap sinergitas antarlembaga pemerintah, telah terjalin kerja sama yang baik.
Kerja sama tersebut terlihat dari bagaimana pemerintah daerah mengimplementasikan kebijakan yang berasal dari pemerintah pusat pada wilayah kerja mereka masing-masing.
Tidak hanya melalui implementasi kebijakan, pemerintah daerah juga dianggap telah berhasil membangun kesadaran masyarakat akan bahaya virus korona dan pentingnya menerapkan protokol kesehatan.
Keberhasilan tersebut selaras dengan pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang mengambil penanganan COVID-19 di Kudus dan Tasikmalaya sebagai contoh, yang mana pemerintah daerah merangkul tokoh-tokoh agama dan TNI/Polri untuk menuntaskan permasalahan COVID-19.
Oleh karena itu, Abdul Fickar memberi apresiasi kepada konsistensi pemerintah dalam mengatasi pandemi ini, serta kerja sama yang terbentuk antarlembaga pelaksana teknis.
Ia juga mengatakan bahwa kesiapan seluruh pemerintah daerah memiliki andil yang tinggi dalam menekan laju perkembangan virus korona di lingkup masyarakat terkecil. Sinergi seperti ini, bagi Abdul, yang mengakibatkan program mengatasi pandemi dapat berjalan dengan lancar.
Akan tetapi, bagi Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, sinergi antar pelaksana teknis saja tidak cukup untuk mengatasi Pandemi Covid-19.
Baca juga: Farhan sebut pidato Presiden cermin kepercayaan diri hadapi pandemi
Sinergi eksekutif dan legislatif
Wahyudi Djafar menyatakan bahwa penanganan pandemi COVID-19 bersifat multisektor dan multidimensi. Terdapat berbagai lembaga, termasuk berbagai kementerian, yang terlibat di dalamnya.
Menurut dia, keterlibatan berbagai lapisan pemerintah tersebut yang mengakibatkan kerancuan terhadap seluruh kebijakan di tingkat legislasi yang digunakan sebagai acuan penanganan wabah. Misalkan, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana.
Kedua UU tersebut memunculkan dua jenis Keputusan Presiden. Ada keputusan yang mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan, ada pula keputusan yang mengacu pada penanggulangan bencana, seperti Keputusan Presiden yang menetapkan Pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam.
Kerancuan tersebut, tutur Wahyudi melanjutkan, yang kemudian berpotensi menimbulkan tumpang-tindih pada kebijakan di tingkat teknis. Khususnya, terkait metode apa yang akan digunakan untuk menanggulangi pandemi ini, apakah mengacu pada metode yang diatur di dalam UU Penanggulangan Bencana, atau merujuk sepenuhnya pada UU Kekarantinaan Kesehatan.
Oleh karena itu, dalam konteks ini, Wahyudi menyatakan bahwa perlu dilakukan sinergi antara DPR (sebagai pembentuk UU) dengan lembaga eksekutif yang akan mengeksekusi UU tersebut melalui kebijakan-kebijakan teknis.
Wahyudi mengambil contoh berdasarkan studi yang dilakukan oleh ELSAM tentang Tata Kelola Data Kesehatan (dalam konteks penanganan Pandemi Covid-19). Peraturan mengenai surveillance atau pemantauan yang terdapat di dalam UU Kekarantinaan Kesehatan masih belum diatur dengan jelas, khususnya terkait apa saja data yang dikumpulkan, diproses untuk apa, dan siapa yang mengakses.
Pemerintah, dalam hal ini lembaga eksekutif, dapat membahas persoalan tersebut bersama dengan DPR guna membentuk UU yang lebih komprehensif. Hal ini yang selanjutnya akan dijadikan acuan oleh lembaga eksekutif dalam mengeluarkan kebijakan teknis.
DPR, yang memiliki fungsi pengawasan selain fungsi legislasi, juga harus melakukan pengawasan terhadap pemerintah, khususnya terkait keselarasan peraturan pemerintah dengan UU yang telah dibentuk oleh DPR.
Selanjutnya, pemerintah juga harus melakukan pengawasan terhadap lembaga maupun tokoh-tokoh yang terlibat dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan.
“DPR bisa mengoptimalkan fungsi pengawasannya terhadap pemerintah, dan pemerintah mengawasi implementasi kebijakan penanganan pandemi hingga di level terkecil,” kata Wahyudi.
Sinergi yang terbentuk antara DPR dengan pemerintah diyakini dapat mengefisienkan penanggulangan Pandemi Covid-19. Kejelasan dan keselarasan antara UU dengan peraturan pemerintah dapat mengurangi kerancuan dalam implementasi teknis.
Kemudian, setelah terbentuk peraturan yang jelas, dibutuhkan pengawasan guna memastikan pelaksanaan telah dilakukan sesuai dengan ekspektasi dari masing-masing lembaga. Sinergi antar pemerintah dan masyarakat saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan ini.
Keharmonisan antara lembaga eksekutif dan legislatif adalah akselerator penanganan pandemi di Indonesia.
Tentu, didukung dengan kedisiplinan masyarakat dalam memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Baca juga: Presiden: Pandemi beri hikmah kepada bangsa
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021