Jakarta (ANTARA News) - Pertemuan Kelompok 20 (G20) di Seoul selama dua hari (11-12 November) dimulai pada hari Kamis dengan nuansa kemewahan, di tengah isu perang kurs.

Pertemuan yang persiapannya dimulai sejak 9 November 2009 oleh pemerintah Korea Selatan tersebut mengikutsertakan hingga 15.000 orang yang terdiri atas para pemimpin pemerintahan, pejabat, wartawan, dan staf lokal.

Menurut harian terbesar di Korsel Chosun Ilbo, total ada 25 pemimpin pemerintahan --20 dari negara anggota G20 dan lima negara undangan-- ditambah tujuh pemimpin organisasi internasional yang akan datang.

Untuk mengantar mereka, terdapat 42 pesawat carter yang disewa dan 250 limosin. Khusus bagi pemimpin G20, disediakan Hyundai Equuses sementara pemimpin organisasi internasional disediakan Chrysler 300Cs.

Tempat berlangsungnya pertemuan berada di kompleks COEX yang terdiri atas empat ruang pertemuan besar seluas 36,016 meter persegi yang didekorasi dengan wallpaper warna hijau untuk memberi nuansa ramah lingkungan ditambah hiasan kertas Korea tradisional Korea.

Rombongan akan menginap di 3.000 kamar di 12 hotel kelas atas di Seoul seperti Lotte, Chosun, Walker Hill, Shilla dan Intercontinental yang juga telah menyediakan sekitar 48 ton makanan selama dua hari pertemuan.

Tidak ketinggalan, pada makan malam kenegaraan di hari pertama, para pemimpin G20 dan istrinya akan diberikan cenderamata berupa album foto elektronik yang berisi foto-foto saat kunjungan mereka dan buku masak makanan Korea.

Apakah keistimewaan G20 sehingga Seoul menyuguhkan kemewahan maksimal dalam pertemuan tersebut?

Seputar G20
Kelompok 20 (G20) yang berisi 19 negara dengan satu organisasi regional (Uni Eropa) pertama terbentuk pada 1999 di Jerman sebagai respon atas krisis Asia 1997-1998.

Saat dunia kembali menghadapi krisis keuangan global 2008 level pertemuan yang tadinya hanya sampai pada tingkat menteri keuangan ditingkatkan menjadi pertemuan kepala negara dan kepala pemerintahan mulai 2008 di Washington.

G20 menjadi bentuk kesadaran aksioma "mencegah lebih baik dari pada mengobati" negara-negara maju yang tergabung dalam G7 --Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Jerman, Italia, dan Jepang-- bahwa krisis keuangan tidak dapat mereka selesaikan sendiri sehingga membutuhkan kerja sama dengan negara lain seperti negara-negara berkembang.

Interdependensi sektor keuangan membuat negara-negara maju dalam G7 (dan UE) melihat perlunya aktor lain seperti Rusia, China, Korea Selatan, Australia, Indonesia, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Argentina, Brazil, dan Meksiko diikutsertakan untuk memperbaiki arsitektur keuangan nasional.

G20 menjadi suatu klub eksekutif yang memegang sekitar 85 persen perekonomian global, sehingga logikanya adalah bila perekonomian anggota G20 sehat, maka kondisi perekonomian dunia pun terjaga.

Keunggulan G20 lainnya adalah partisipasi institusi finansial global seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, maupun bank regional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam pertemuannya sehingga lebih mudah mengoordinasikan kebijakan keuangan negara dengan kebijakan lembaga-lembaga tersebut.

Efektivitas G20 mengatasi krisis telah terlihat seperti yang dikatakan oleh Asisten Sherpa (perwakilan) Indonesia di G20 Herfan Brilianto yaitu tingginya angka pertumbuhan ekonomi global dan rendahnya inflasi pada 2000-2004.

Selanjutnya Data Bank Dunia juga memperlihatkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia yang tadinya minus 2,1 persen menjadi positif 3,3 persen pada 2010.

Dalam tiga pertemuan awal yaitu di Washington (2008), London (2009), dan Pittsburgh,Amerika Serikat (2009) anggota-anggota G20 berfokus untuk mengatasi krisis keuangan yang berasal dari aset yang bermasalah dengan cara memperkuat regulasi di pasar uang, memberikan stimulus lewat kebijakan fiskal sebesar dua persen dari PDB, mengalokasikan total 1,1 triliun dolar AS untuk membantu membangkitkan perekonomian dunia, dan mencoba mereformasi institusi finansial yang ada.

Kritik dan Isu yang Saling Berkejaran
Namun G20 tidak lepas dari kritik pertama adalah terkait bagaimana suatu forum konsultasi yang tidak melandaskan tindakannya berdasar suatu perjanjian dapat meminta anggota-anggota mengerjakan kesepakatan yang sudah diambil dan kedua adalah legitimasi G20 di luar negara anggotanya.

Untuk kritik pertama, Wakil Menteri Perdagangan sekaligus ketua Sherpa Indonesia di G20, Mahendra Siregar mengatakan cara komunikasi di dalam G20 bersifat informal, pragmatis dalam arti ditujukan untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi tanpa harus mengurangi tujuan jangka panjang G20, bersifat konsensus, dan lead by example.

"Dalam G20, tiap negara bebas mendiskusikan masalah keuangan mereka dengan cara yang pragmatis dan tanpa melibatkan ideologi tertentu sehingga menciptakan rasa percaya dan memberi jalan yang lebih mulus untuk mencapai kesepakatan karena fleksibilitas untuk menyesuaikan programnya sesuai dengan kondisi ekeonomi internasional," jelas Herfan.

Dengan mekanisme yang seperti ini, maka di satu sisi dapat memberikan fleksibilitas untuk meluaskan isu-isu yang dibahas, namun di sisi lain juga memberikan celah mencuatnya suatu isu yang menarik perhatian anggota-anggota G20.

Isu yang mencuat jelang pertemuan G20 pada 11-12 November di Seoul adalah perang kurs.

Amerika Serikat yang yakin bahwa kurs yuan dipatok lebih rendah sekitar 40 persen dari harga pasar oleh pemerintah China mendesak agar China melonggarkan nilai mata uangnya karena membuat harga barang-barang China lebih murah dan mengurangi nilai ekspor barang AS.

Namun belum lagi China mengambil langkah-langkah terkait hal tersebut, bank sentral AS, The Federal Reserve, pada 3 November mengatakan akan membeli 600 miliar dolar AS obligasi jangka panjang pemerintah dengan menggunakan uang baru untuk menyelamatkan ekonomi AS, hanya berselang 1 minggu sebelum pertemuan G20 di Seoul.

Walau Menteri Keuangan Kanada James M. Flaherty di Jakarta telah mengatakan bahwa pada pertemuan para menteri keuangan akhir Oktober sudah sepakat untuk menahan diri terkait isu devaluasi mata uang dan akan lebih membicarakan pembukaan pasar global, tidak dapat dibantah tindakan The Fed memanaskan isu perang devaluasi mata uang.

Wakil Menteri Luar Negeri China Cui Tiankai, negosiator utama China soal isu G20, pada 5 November menyerukan kepada The Fed untuk menjelaskan alasan keputusan AS yang mengeluarkan 600 miliar dolar AS guna membeli obligasi pemerintah.

"Sudah selayaknya apabila seseorang maju dan memberikan penjelasan kepada kita, jika tidak maka kepercayaan internasional terhadap pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global dapat ternoda," kata Cui.

Kondisi tesebut selain mengancam keseimbangan ekonomi global, juga memperkecil kemungkinan isu "pasca krisis keuangan" seperti agenda pembangunan dan jaring keamanan keuangan global dapat dibahas dan menghasilkan kesepakatan konkrit.

Isu pembangunan memang terkait dengan kritik kedua G20 yaitu legitimasinya atas "sisa" 170 negara lain di dunia.

Meski pertumbuhan meningkat, ternyata tingkat pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi terus menghantui negara-negara di dunia, utamanya negara miskin yang memberikan nuansa bahwa G20 lebih mewakili kepentingan negara-negara maju (G7).

Keinginan Indonesia
Hal tersebut tentu tidak sejalan dengan keinginan Indonesia agar tercipta suatu pertumbuhan perekonomian global yang seimbang.

"Dua target Indonesia dalam pertemuan G20 mendatang adalah mendorong koordinasi kebijakan keuangan negara-negara anggota dan mendorong isu non keuangan agar dapat bergulir dengan cepat, salah satunya isu pembangunan," kata Mahendra

Isu pembangunan, menurut dia , dipandang penting untuk dibahas demi meningkatkan legitimasi G20 di mata negara-negara berkembang lainnya.

"Legitimasi atau pengakuan atas G20 dari sudut pandang negara-negara berkembang yang tidak terwakili secara fisik di G20 harus ditingkatkan dengan membawa aspirasi negara-negara tersebut ke G20, aspirasi yang dimaksud adalah isu pembangunan," kata Mahendra.

Indonesia jelas tidak dapat sendirian untuk mengangkat masalah pembangunan tersebut.

Korea Selatan sebagai tuan rumah juga menampakkan kesungguhannya untuk memasukkan agenda pembangunan dalam pembicaraan G20.

Presiden Korsel Lee Myung-bak mengatakan, Korsel akan memasukkan agenda pembangunan sebagai salah satu topik G-20 dan mencoba agar agenda pembangunan tersebut menghasilkan rencana konkrit lewat pembangunan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia di sejumlah negara berkembang dengan bantuan negara G-20.

Peran Indonesia
Sejauh ini, sudah ada dua peran konkret yang diberikan Indonesia terkait isu pembangunan khususnya untuk memberikan kesempatan lebih luas bagi negara-negara berkembang.

Peran pertama adalah pengajuan proposal Dana Dukungan Belanja Global (GESF) yaitu dana cari bagi negara berkembang yang bukan anggota G20 agar dapat memenuhi pendanaan pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan pekerjaan, dan program Tujuan Pembangungan Milenium (MDGs) pada pertemuan di Washington 2008.

"GESF diciptakan untuk membantu negara-negara berkembang khususnya di Asia untuk mendorong pembangunan ekonomi dan pemulihan dari krisis global yang setidaknya memerlukan waktu tiga tahun," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Washington.

Proposal Indonesia tersebut direspon positif oleh negara-negara anggota G20 dan juga institusi keuangan seperti IMF dan Bank Dunia dan wujud nyatanya terlihat dalam peran kedua Indonesia yaitu sebagai pemimpin kelompok kerja IV (Working Group 4) yang mengawasi Bank Pembangunan Multilateral (MDB) yang memberi pinjaman dana.

Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan para menteri keuangan anggota G20 di Jakarta 2 Maret 2009 dan juga bank pembangunan seperti ADB, Bank Pembangungan Afrika (AFDB) Bank untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Eropa (AFDB), Bank Pembangunan Inter-Amerika (IADB), dan Islamic Development Bank (IDB) yang menghasilkan rencana aksi dan diserahkan pada pertemuan London 2 April 2009.

Dengan kritik dan isu yang saling berkejaran dalam G20, Indonesia dihadapkan pada tantangan yang besar guna memanfaatkan peran dalam G20 agar dapat terus perperan aktif menjembatani visi yang berbeda antar negara-negara yang berselisih serta memperlihatkan sosok Indonesia yang moderat dan teguh dalam bersikap seperti yang dikatakan Menlu Marty Natalegawa pada November 2009 dalam KTT ASEAN.
(KR-DLN/A011)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010